Laman

Selasa, 13 Maret 2018

Icip-Icip Kue dan Minuman Khas Maluku Utara Saat Launching Calendar of Event-nya


Kuliner tradisional khususnya makanan dan minuman kecil atau kue khas Provinsi Maluku Utara (Malut) sangat beragam. Nah, empat di antaranya yakni Kue Sagu Kasbi,  Angka Durian, dan Jus Sari Buah Pala disuguhkan dalam acara launching Calendar of Events (CoE) Malut 2018 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, kantor Kemenpar, Jakarta, Selasa (13/3) malam.
Kue Sagu Kasbi atau sagu dari singkong yang merpakan makanan khas Tidore Kepulauan terbuat dari ubi kayu atau singkong varietas lokal Tidore, gula, susu dan bahan-bahan lainnya.
Rasa Sagu Kasbi tawar dan bertekstur keras. Bentuknya empat persegi panjang dengan warna ada yang coklat, ada juga putih kekuningan.

Karena keras dan tawar, cara menyantapnya paling enak dengan dicelup di air teh atau kopi panas yang manis.

Salah satu produsen Sagu Kasbi di Malut dibuat oleh Kelompak Wanita Tani di Kelurahan Jaya, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan.

Sementara Kue Angka Durian khas Ternate, Malut sesuai namanya memang terbuat dari terigu dan durian serta ditambah kenari.
Alhasil kue berwarna kehijauan yang mirip kue Apem ini terasa sekali aroma duriannya.

Minuman Jus Buah Pala atau Nutmeg Juice terbuat dari sari buah pala, air, gula, pewarna alami, dan asam sitrat.

Karena terbuat dari sari buah pala, minuman berwarna kuning dalam kemasan botol plastik berisi 330 ml itu terasa sekali buah palanya.

Buah pala diyakini mengandung bermacam gizi seperti kalori, protein, karbohidrat dan lainnya.

Minuman bermerek Abdas itu diproduksi UD. Bintang Harapan di Ternate, Malut.

Kue Aneka Durian  khas Ternate di salah satu meja di bazaar terkait CoE Malut 2018 yang diperuntukkan buat pengunjung secara cuma-cuma, diletakkan bersama beberapa makanan kecil khas Minahasa, Sulawesi Utara seperti Bobengka dan Lalampa.

Menurut penjaga stand kue khas Malut yang enggan disebut namanya, harga kue Aneka Durian cuma Rp 5 ribu.
Kata penjaga stand kue khas Malut itu, masih ada beberapa kue dan masakan khas Malut lainnya antara lain Nasi Jaha yang berbahan dasar campuran beras biasa, beras ketan, dan santan kelapa.
“Semacam nasi pulut. Rasanya sangat gurih,” ungkapnya.
Selain itu juga ada Kue Asidah, makanan khas Tidore yang terpengaruh budaya Arab. Warna kuenya merah kecoklatan dikarenakan kandungan kurma dan gula aren.
Sepintas mirip dodol tapi penyajiannya beda. Kalau dodol di Jawa biasanya dicetak persegi lalu dipotong-potong kecil, tanpa tambahan apa-apa. Tapi kalau Kue Asidah disajikan berbentuk separuh bola di atas piring. Lalu disiram ghee (mentega India) di atasnya sebagai topping.

“Sayangnya Nasi Jaha dan Kue Asidah-nya kita lupa bawa,” akunya.

Pantauan Kokirimba, selain stand kue khas Malut, di acara launching CoE Malut 2018 yang dihadiri Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, Plt. Gubernur Malut H. Muhammad Natsir Thaib, Kepala Dinas Pariwisata Malut Samsuddin A. Kadir, para bupati Malut, dan sejumlah tamu undangan serta wartawan dan blogger ini juga terdapat stand khusus menjual aneka olahan dari bahan-bahan yang didatangkan dari Malut.

Ada Sambal Kenari dan Sambal Roa yang dibanderol dengan harga Rp 75 ribu per toples kecil.
Juga ada teh rempah khas Sasadu Jailolo Rp 60 ribu per toples kecil serta cake roll produksi Locarasa dengan tiga varian isi yakni coklat kenari, lemon, dan coconut palm sugar dengan harga Rp 50 ribu per kotak berisi tiga gulungan kecil.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. Kue Angka Durian khas Ternate, Malut.
2. Sagu Kasbi khas Kota Tidore Kepulauan, Malut.
3. Nutmeg Juice atau jus sari buah pala khas Ternate, Malut.
4. Cake Roll isi bahan-bahan dari Malut
5. Sasadu, teh rempah khas Jailolo, Malut.

Sabtu, 10 Maret 2018

Bikin Sarapan Nasgor TO Ala Kokirimba


Nasgor TO adalah singkatan dari Nasi Goreng Tutug Oncom. Merupakan perpaduan antara nasi goreng dengan Oncom Tumis Leunca.

Pertama buat dulu Oncom Tumis Leunca. Bahannya terdiri atas minyak goreng, cabe merah, bawang merah, dan bawang putih lalu diulek. Tambahkan garam dan bumbu penyedap secukupnya jika suka.

Bahan utamannya oncom dihancurkan kasar,  leunca yang menjadi ciri khas masakan ini,  daun kemangi kalau suka, dan beberapa cabe rawit hijau jika selera pedas.

Cara memasaknya sangat mudah. Panaskan minyak goreng lalu tumis bumbu yang diulek atau diiris-iris sampai harum. Lalu masukkan leunca terlebih dulu, baru kemudian oncom, garam, bumbu penyedap.

Masak dan aduk rata. Masukkan kemangi dan cabai rawit hijau. Aduk-aduk lalu angkat  dan ditempatkan di piring.

Berikutnya buat bumbu nasgor yang terdiri atas cabe merah, bawang merah, terasi (kalau suka), dan garam secukupnya.

Setelah dihaluskan lalu dimasukkan ke wajan berisi mimyak goreng, bisa juga menggunakan margarin.

Setelah bumbu nasgor harum masukan Oncom Tumis Leunca, kemudian masukan nasi putih (sebaiknya yang rada pera, bukan pulen). Kemudian diaduk rata dan angkat. Jika kurang garam, tambahkan lagi.

Nasgor TO ini juga bisa Anda tambahkan dengan ikan teri asin, suwiran ayam, potongan daging kambing, pete, suwiran telor goreng, dan lainnya sesuai selera.

Untuk telur goreng suwirnya, cukup gunakan 2 telur ayam, pecahkan di mangkung kecil lalu diaduk dan tambahkan garam, kemudian digoreng.

Setelah masak, telurnya disuwir-suwur dan diletakkan di atas nasi goreng yang tersaji di piring.

Nasgor TO ala Kokirimba ini enak disantap selagi hangat buat sarapan ataupun makan malam, apalagi saat hujan dan udaranya terasa dingin.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Jumat, 09 Maret 2018

Mie Aceh Pandrah Kramat Raya Menuju Festival Jajanan Bango 2018


Sejumlah wirausaha kuliner baik itu warung, kedai, rumah makan maupun restoran tengah berkompetisi dalam program “Bango Penerus Warisan Kuliner 2018” yang digelar Bango berkerjasama dengan BEKRAF RI. Salah satunya warung Mie Aceh Pandrah yang terletak di Jalan Kramat Raya No. 112 A, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.

Sesuai namanya, Warung Mie Aceh Pandrah Kramat Raya ini menyediakan beragam Mie Aceh yang merupakan kuliner khas dari Aceh.

Jenis Mie Acehnya ada yang polos, kombinasi telur, ayam, sapi, udang, kambing, seafood, dan ada pula Mie Aceh yang spesial.

Harga per porsinya dari Rp 15 ribu hingga Rp 35 ribu.

Tak cuma itu, ada juga bermacam Cane, Martabak, dan Kari.

Jenis Cane-nya ada Cane gula, susu, kari, coklat susu, keju susu, dan Cane spesial dengan harga mulai Rp 10 ribu sampai Rp 25 ribu.

Kari-nya ada Kari ayam (Rp 15 ribu) dan Kari Sapi/Kambing (Rp 25 ribu).

Sementara Martabak-nya ada 3 macam yakni Martabak telur (17 ribu), Martabak Kari Ayam (28 ribu), dan Martabak sapi/kambing (Rp 35 ribu).

Di Jakarta, Warung Mie Aceh Pandrah Kramat Raya ini cabangnya juga ada di Sawah Besar, Taman Palem Cengkareng, dan Blok M.

Namun menurut koki atau juru masaknya yang bernama Zulkifli Nasbar atau yang akrab disapa Izoel, hanya Warung Mie Aceh Pandrah Kramat Raya saja yang ikut program “Bango Penerus Warisan Kuliner 2018”, sementara tiga cabang lainnya tidak.

Bukti kalau Warung Mie Aceh Pandrah Kramat Raya ini mengikuti program tersebut, terlihat dari dua selebaran keikutsertaan dari Bango yang tertempel di dinding dalam warung tersebut.

Isi selebaran tersebut mengajak pengunjung warung tersebut dan masyarakat luas untuk memilih Warung Mie Aceh Padrah Kramat Raya ini agar bisa jadi juara dan tampil di Festival Jajanan Bango 2018.

Caranya dengan mem-posting menu makanannya di akun Instagram (IG) dan Twitter.

Tak lupa menyertakan dua hashtag yakni: #PenerusWarisanKuliner dan #Bango6904.

Bagi 100 posting-an paling menarik akan mendapatkan hadiah voucher Festival Jajanan Bango 2018 dengan total Rp 10 juta.

Setiap satu posting-an sama dengan satu vote.

Kokirimba, TravelPlus Indonesia, Rona Budaya, dan Siarmasjid yang tergabung dalam d'Blogger Indonesia usai menikmati seporsi Mie Aceh Udang dan lainnya di Warung Mie Aceh Pandrah Kramat Raya ini, sepakat menilai warung ini pantas mengikuti Festival Jajanan Bango 2018 karena masakannya serba mangat that (kata orang Aceh) yang artinya enak bingiiitsss (kata anak zaman now).

Di akhir Maret 2018 ini, 20 finalis dengan jumlah vote terbanyak ditambah 2 finalis pilihan dewan juri berhak untuk mengikuti penjurian dan workshop yang akan digelar di Jakarta.

Di sesi penjurian, para finalis akan mempresentasikan hidangan mereka di depan dewan juri yang beranggotakan para legenda kuliner kenamaan, perwakilan dari BEKRAF RI serta tim ahli dari Unilever Food Solutions.

Selanjutnya di sesi workshop, mereka akan mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang dapat sangat membantu mereka dalam mengembangkan usaha di kemudian hari, seperti pelatihan food safety dan food handling dari tim ahli UFS, serta wawasan mengenai strategi bisnis kuliner oleh tim BEKRAF RI.

Di akhir kompetisi, akan terpilih 5 pemenang yang berhak mendapatkan total hadiah sebesar Rp 500 juta untuk membantu mengembangkan usaha mereka sehingga dapat dinikmati oleh lebih banyak pecinta kuliner.

Kelima pemenang dari program ini nantinya juga dapat berpartisipasi di kemeriahan perayaan ulang tahun Bango ke 90 yaitu Festival Jajanan Bango 2018 yang akan digelar di dua kota yakni Jakarta pada 14-15 April dan Makassar, Sulawesi Selatan pada 5-6 Mei.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Seporsi Mie Aceh Udang berkuah ala Warung Mie Aceh Padrah di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
2. Harga aneka Mie Aceh di Warung Mie Aceh Padrah Kramat Raya yang terletak sekitar 50 meter dari Museum Sumpah Pemuda.




Sabtu, 13 Mei 2017

Sepiring Pindang Kepala Gabus Bi’ Cik, Bikin Pingin Balik Lagi ke Kota Jambi


Kalau Anda ke Kota Jambi, lalu menyantap sepiring Pindang Kepala Gabus di Warung Pindang Bi’ Cik. Dijamin bakal ketagihan dan ingin balik lagi. Nggak percaya? Coba aja.

Ketagihan Pindang Gabus racikan Bi’ Cik yang bernama asli Yeti itu pun dialami H. Ekhsan, wisatawan asal Bekasi yang kebetulan lagi bertugas memantau pelaksanaan Festival Candi Muaro Jambi 2017 yang diselenggarakan Pemkab Muaro Jambi berkerjasama dengan Pemprov Jambi dan didukung instansi Kementerian Pariwisata (Kemenpar), tempatnya bekerja.

Sewaktu datang untuk santap siang di warung yang terletak di Jalan Slamet Riyadi, wilayah Broni, Kota Jambi, Eksan langsung memesan Pindang Gabus.

Rupanya pria berperawan gemuk ini penyuka olahan ikan gabus.  Menurutnya di Bekasi, tenpatnya tinggal ada penjual menu Gabus Pucung yang sudah lama menjadi langgananya dan terkenal luar biasa enak. “Nah, sekarang saya mau cobain Ikan Gabus yang dipindang, mumpung lagi di Kota Jambi,” ujarnya kepada Koki Rimba, Rabu (10/5) siang.

Jika Ekhsan memilih Pindang Gabus karena menyukai Ikan Gabus, lain halnya Koki Rimba justru memilih menu tersebut lantaran menilainya paling unik atau tidak biasa dibanding Pindang Ikan Patin ataupun Pindang Iga Sapi.


Setelah Ekhsan memesan Pindang Gabus bagian badan dan Koki Rimba memesan Pindang Kepala Gabus, Bi’ Cik kemudian meraciknya di dapur mini yang juga merangkap tempat menyajikan aneka menu lainnya yang terletak di bagian depan sisi kiri warungnya.

Rupanya potongan Ikan Gabus yang menjadi bahan utama Pindang Gabus sudah dipotong-potong terlebih dahulu menjadi tiga bagian yakni kepala, badan, dan buntut, dan juga sudah direbus. Begitupun dengan Ikan Patin.

Sementara kuah pindangnya ditempatkan di dalam panci di atas kompos gas dengan api kecil.

Warna kuah pindangnya kuning keemasan, sangat menggoda selera. “Bumbu kuah pindangnya antara lain dari kunyit, cabe merah, bawah merah, cabe rawit, dan lainnya,” ujar Bi' Cik sambil memasukan potongan Ikan Gabus ke dalam panci berkuah pindang.

Tak perlu menunggu lama karena ikan tersebut sudah direbus terlebih dulu, Bi' Cik kemudian mengangkat kepala dan badan Ikan Gabus ke dalam piring dan mangkuk.

Kepala Ikan Gabus pesanan Koki Rimba diletakkan ke dalam piring karena ukurannya cukup besar, sedangkan pesanan Ekhsan, Badan Gabus diletakkan ke dalam mangkuk.

Setelah itu Bi’ Cik memasukkan irisan tomat merah dan daun kemangi. Hemmm.., secara tampilan seperting Patin Kepala Gabus Warung Pindang Bi’ Cik benar-benar menggugah selera.

Mungkin karena sudah lapar, ditambah bertemu dengan menu kesukaannya, Ekhsan nampak begitu lahap menyantap Pindang Gabus-nya.

Tak sampai 5 menit, menu kesukaannya itu sudah ludes. Dia pun tak berkomentar apa-apa, tidak bilang pedas ataupun asam.

Sementara Koki Rimba, waktu pertama kali mencicpi kuah Pindang Kepala Gabus, yang terlontar pertama kali adalah citra pedas dan asam-nya cukup terasa. Maklum Koki Rimba tidak terlalu suka pedas.

Padahal menurut beberapa pengunjung lain terutama perempuan yang suka pedas, kuah pindang buatan Bi’ Cik itu tidak sama sekali pedas.

Karena lidah Koki Rimba merasa kuah pindang itu pedas, akhirnya sama sekali tidak dicampur Sambal Nanas, teman pindang tersebut.

Koki Rimba pun hanya menyantap kepalanya saja dengan sedikit kuah, sehingga sisa kuahnya yang yang tak termakan cukup banyak.

Pindang Kepala Gabus Bi’ Cik dibanderol Rp 40 ribu. Kalau badannya Rp 35 dan buntutnya Rp 30 ribu per porsi. Sementara Pindang Kepala Patin Rp 35 ribu, sedangkan badan dan buntutnya masing-masing Rp 30 ribu per porsi.

Meskipun menu utamanya aneka Pindang Patin, Gabus, dan Pindang Iga Sapi, namun Warung Pindang Bi' Cik yang sudah beroperasi sejak 6 tahun lalu ini pun menyajikan aneka menu lainnya seperti Ayam Kampung Goreng, Sayur Daun Singkong, Tumis Buncis, Tumis Tempe, Patin Balado, Terong Balado, Pepes Tempoyak, Sate Ikan, Ikan Kerutup, Ikan Seluang Goreng, Tumis Kerang dan Pete, Udang Goreng, Perkedel Jagung, Sambal Macang, dan lainnya serta aneka minuman jus.

Bukti kalau warung pindang Bi’ Cik ini menjadi salah satu objek wisata kuliner andalan Kota Jambi, terlihat dari beberapa bingkai foto yang pajang di dinding warung ini.

Di sana terpajang foto Gubernur Jambi Zumi Zola beserta Bi’ Cik dan sejumlah menteri antara lain Mensos Khofifah Indar Parawansa yang sudah mampir dan makan di warung ini.

Warung Pindang Bi’ Cik merupakan segelintir dari warung, rumah makan atau restoran yang menyajikan menu tradisional khas Jambi selain Dolen yang berlokasi di Talang Banjar Aneka Rasa di Kebun Jeruk.

Namun sebenarnya Warung Pindang Bi’ Cik tidak menyebut warung makan khas Jambi melainkan Palembang sebagaimana tertera di backdrop yang dipasang di depan warungnya, karena menu andalannya yakni aneka Pindang Gabus, Patin, dan Iga Sapi itu sebenarnya racikan khas Palembang bukan Jambi.

Kalau di lihat dari sisi lokasi dan kondisinya, Warung Pindang Bi’ Cik boleh dibilang strategis dan cukup luas, ditambah lahan parkir yang cukup memadai di bagian depan dan sisi kiri warungnya.

Bangunan warung yang dilengkapi mushola dan toilet ini pun menegaskan ketradisionalannya. Atapnya diberi ijuk dan dindingnya berbilik bambu dengan ventilasi cukup luas.

Warung yang berada di depan jalan raya, tepatnya di seberang Hotel Ratu, dan di samping kanan jalan dan mini market, serta di samping kirinya ada gedung salah satu parpol baru ini, mampu menampung sekitar 200 orang di bagian depan dan samping.
Cuma dari segi pelayanan, boleh dibilang cukup lama lantaran warung ini cuma memperkerjakan dua pelayan, laki dan perempuan. Sedangkan Bu’ Cik sendiri yang bertugas menyajian menu pesanan.

Satu lagi, warungnya tidak memiliki ruang ber-AC, semuanya non-AC namun jumlah kipas anginnya pun terbatas terutama di ruang makan di bagian samping.

Sudah semestinya pelayanan dan fasilitas pendukung warung yang sudah direkomendasikan sejumlah pihak sebagai salah satu objek wisata kuliner di Kota Jambi ini semakin baik lagi ke depan.

Nah, bukti lain kalau Ekhsan benar-benar ketagihan Pindang Gabus Bi' Cik, sebelum kembali ke Bekasi, Jum'at (12/5),  dia meminta santap siangnya ba'da Jum'atan di Masjid Agung Al-Falah atau Masjid Seribu Tiang, di Warung Pindang Bi’ Cik lagi.  Dan lagi-lagi menu yang dipesannya adalah Pindang Gabus ditambah Patin, kemudian kembali disantapnya dengan lahap dan cepat.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Senin, 01 Mei 2017

Menjelajahi Ragam Cita Rasa Tak Terhitung di Rangkasbitung


Wisata kuliner boleh dibilang nggak ada matinya. Digabung dengan jenis wisata apapun, tetap nyambung. Kuliner seakan ditakdirkan menjadi salah satu pemikat utama sebuah destinasi.

Itulah sebabnya setiap meliput beragam jenis wisata, selalu ada waktu untuk berwisata kuliner. Contohnya baru-baru ini, disela-sela mengikuti culture event Seba Baduy 2017, Koki Rimba menyempatkan diri menjelajahi beragam citra rasa tak terhitung di Kota Rangkasbitung.

Selepas mengikuti prosesi inti Seba Baduy di Pendopo Bupati Lebak di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, Lebak, Banten, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Esthy Reko Astuti  ingin minum yang dingin-dingin.

Bisa jadi dia masih kehausan karena sebelumnya mengikut Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) bersama Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya di halaman Pendopo dengan menu Nasi Liwet dan beragam lauk khas Sunda seperti ikan asin, ayam kampung goreng, cah kangkung dan beragam lalapan seperti ketimun, kacang panjang, daun salada, dan pete serta sambal tomat goreng yang semuanya ditaruh di atas deretan daun pisang hingga menggoda selera.

Gayung bersambut, salah seorang panitia Seba Baduy 2017 dari Pemkab Lebak memberi rekomendasi resto untuk mewujudkan keinginan Esthy.

Didampingi Kepala Bidang Promosi Wisata Budaya Kemenpar Wawan Gunawan, berangkatlah kami ke resto sesuai petunjuk panitia tersebut.

Namanya Kemuning Resto, sesuai dengan tulisan yang terpampang di tembok depan resto tersebut, yang berada di Jalan Sunan Bonang No.10, sekitar 1 Km dari Alun-Alun Rangkasbitung.

Di halaman depannya diteduhi Pohon Mangga yang daunnya cukup rindang dan sedang berbuah.

Melihat bangunan restonya seperti rumah bekas orang Belanda jadoel atau jaman doeloe.

Itu bisa jadi, karena sejarah Rangkasbitung tak lepas dari sejarah perjuangan Multatuli alias “Eduard Douwes Dekker”, yaitu tokoh Belanda yang kabarnya pernah berjuang memerdekakan masyarakat Kabupaten Lebak dari kesengsaraan akibat dijajah.

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang artinya “banyak yang sudah aku derita” yang terkenal dengan karangan bukunya yang berjudul Max Havelar.

Dari situlah nama Multatuli kemudian menjadi ikon Kota Rangkasbitung dan diabadikan untuk nama alun-alun dan jalan utama, bahkan untuk nama museum yang baru diresmikan tahun lalu.

Meski tak luas, resto yang berada di tepi jalan raya ini punya halaman parkir yang mungkin cuma mampu menampung 5 mobil di bagian samping kiri. Sedangkan bagian samping kanannya terdapat payung-payung tenda lengkap dengan meja dan kursi.

Di serambi depan ada dua meja dan beberapa kursi. Begitupun di bagian tengah yang merangkap dapur terbuka di belakangnya, dan ruangan sisi kiri yang juga merangkap kasir.

Lantaran haus dan ingin minum yang dingin-dingin, Esthy memesan Es Kemuning, semacam es campur yang berisi aneka buah seperti alpukat, kelapa, dan lainnya.

Lain lagi dengan Wawan. Lantaran tidak sempat ikut Babacakan (makan malam bersama dengan orang Baduy) karena mobilnya sempat mengalami kendala usai mengikut acara di Pandeglang, dia memesan menu makan malam Nasi Goreng dan Cumi Kuah Asam Manis.


Selain Es Kemuning yang menjadi salah satu menu andalan resto ini, masih ada beberapa jenis minuman lainnya.

Koki Rimba sendiri memesan Hot Nescafe dan Jus Alpukat serta Pisang bakar.

Sementara Sony, Even Organizer (EO) yang mengurus dukungan Kemenpar dalam Seba Baduy 2017 ini, memilih Es Kemuning dan Pisang Goreng.

Hadi, asisten Wawan memesan Hot Nescafe serta Bakwan Udang. Sedangkan Rijal, Stafnya Wawan memilih Lemon Squash dan Pempek, sementara Robi stafnya Sony memesan Roti Bakar dan Hot Black Kupu-Kupu yang juga menjadi salah satu minuman andalan resto ini.

Setelah Koki Rimba cicipi semua jenis minuman dan makanan itu, boleh dibilang serba enak dan pantas untuk direkomendasikan ke publik.

Harganya pun masuk akal alias terjangkau. Segelas Es Kemuning misalnya cuma Rp 14 ribu, Hot Nescafe Rp 8 ribu, Lemon Squash Rp 10 ribu, Hot Black Kupu-Kupu Rp 5 ribu.
Begitu pun aneka camilannya, Pempek Rp 15 ribu, Bakwan Udang seporsi isi 3 potong Rp 10 ribu, Roti Bakar Rp 10 ribu, dan Pisang Bakar/Goreng masing-masing Rp 12 ribu.

Tak sulit menjangkau resto ini. Pengunjung yang datang dari Jakarta bisa naik kereta api commuter line dari Stasiun Tanah Abang, Palmerah, ataupun Stasiun Kebayoran Lama ke Stasiun Rangkasbitung selama sekitar 2,5 jam. Kemudian tinggal naik becak dari depan stasiun.

Saking asyiknya nyantai, ngobrol, ngudut, dan ngemil di Kemuning Resto, tak terasa sudah hampir jam 12 malam.
Padahal resto milik Isty Desrina ini tutup pukul 10 malam, sedangkan bukanya pukul 10 pagi setiap hari.

Kami pun kembali ke Hotel Bumi Katineung di Jalan Multatuli, tempat kami menginap yang jaraknya sekitar 300 meter dari resto tersebut.

Esok paginya selepas Nyabu jo alias Nyarapan Bubur Kacang Ijo di hotel yang kabarnya terbaik di Rangkasbitung itu, Koki Rimba melanjutkan jelajah kuliner di seputaran Kota Rangkasbitung sebelum bertolak ke Pandeglang dan Kota Serang mengikuti rangkaian Seba Baduy 2017 berikutnya.

Ada beberapa tempat kuliner Kota Rangkasbitung yang Koki Rimba sambangi dengan becak, namun tidak semua dicicipi makanannya.

Di antaranya Mie Sadis Pedas di Jalan R.A Kartini No.12, Nasi Uduk Bolo2 Mamah Anna di Kampung Leuwiranji Jalan Sunan Kalijaga, Martabak Malabar di Jalan Stasiun (Jalan Sunan Kalijaga), Warung Nasi Ka Oyo juga di Jalan Sunan Kalijaga,  Mie Ayam Kangkung Keriting Awi di Jalan Multatuli No 45, dan Rumah Makan Ramayana juga di Jalan Multatuli.

Lanjut ke Warung Sate Ojolali I (Maman) di Jalan Empang (Jalan RT. Hardiwinangun), Juice Alun-Alun Rangkasbitung, dan Soto Tangkar juga di Alun-Alun Rangkasbitung, serta Gado-Gado Sunan Bonang Jalan Sunan Bonang.

Selain di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, sentra kuliner Kota Rangkasbitung juga ada di Balong Ranca Lentah atau Situ Balong (empang/kolam), tak jauh dari Alun-Alun, tepatnya di Jalan RT Hardiwanungun.

Sayangnya saat menjelajahi tempat-tempat bersantap itu, Koki Rimba tak menemukan Kue Jojorong, kue khas Rangkasbitung yang terbuat dari tepung sanji, tepung beras, dan gula merah yang di bungkus daun pisang.

Mungkin harus balik ke Rangkasbitung lagi alias bersambung. Dan sepertinya memang harus, karena wisata kuliner itu Ibukota Kabupaten Lebak ini pun never ending.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Minggu, 30 April 2017

Aneka Lauk Babacakan Khas Seba Baduy 2017, Sungguh Menggugah Selera


“Mas Adji ayo Babacakan di sini bareng-bareng,” begitu ajak Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya bersama suami tercinta di sebelah kanannya. “Ayo mas Adji disini aja, saya juga kebanyakan nih,” ajak Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwiata Nusantara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Esthy Reko Astuti yang duduk di sebelah kiri Bupati Lebak.

Terus terang sebenarnya saya sudah kepingin sekali Babacakan (makan bersama) dengan mereka, apalagi di momen spesial dalam rangkaian Pesona Seba Baduy 2017, ditambah dengan aneka lauknya yang menggugah selera.

Ada ikan asin, tempe dan tahu goreng, ayam goreng, mie goreng, cah kangkung, kerupuk, dan aneka lalapan seperti daun salada, kacang panjang, mentimun, dan pete serta sambal. “Ayam gorengnya ayam kampung lho mas Adji,” ucap Iti.

Namun dari semua lauk itu, entah kenapa matanya saya justru terus melirik pete dan ikan asin. “Pete khas Lebak ini rada manis Mas Adji, cobain aja,” ujar Iti lagi.

Mendengar penjelasan Iti, terus terang selera makan saya semakin bergejolak. Jujur saja, sejak dulu pete memang menjadi salah satu dewa penyelamat selera makan saya selain ikan asin dan jengkol.

Ajakan Iti dan Esthy ditambah aneka menu Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) yang berjumlah sekitar 2.000 orang di halaman depan Pendopo Bupati Lebak, Kota Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat (28/4) malam, membuat saya galau.

Di satu benar-benar ingin langsung makan bersama orang nomor satu di Lebak itu ditambah dengan Deputi Esthy. Tapi di sisi lain, peristiwa orang-orang penting itu ikut Babacakan merupakan momen spesial yang sayang kalau tidak diabadikan.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengabadikan mereka terlebih dulu dan juga ribuan urang Kanekes yang duduk rapih beralas terpal biru sambil menyantap Nasi Bungkus berisi nasi, ayam goreng, dan aneka lauk lainnya.

Selepas tuntas mengabadikan semuanya, saya pun memilih tempat untuk bersantap Babacakan itu.

Nasi dan semua lauknya ditaruh di atas jajaran daun pisang yang terlebih dulu sudah dibersihkan.

Lauk yang pertama yang saya sikat justru pete-nya, sampai Sony, Event Organizer (EO) heran. “Wah Mas Adji pete-nya dulu yang dimakan, bukan nasinya haha,” ujar Sony sambil tertawa.

Itu sengaja saya lakukan karena penasaran ingin membuktikan perkataan Iti. Ternyata benar pete-nya walau sudah tua tapi tetap berasa agak manis dan segar, sepertinya baru dipetik dari pohonnya.

Soalnya kalau saya makan nasi dan lauk lainnya baru kemudian pete-nya, takut rasa khas pete-nya tercampur.

Apalagi saat saya santap nasinya, ternyata bukan nasi putih biasa melainkan Nasi Liwet sejenis Nasi Uduk khas Betawi kalau di Jakarta. Heemmm.., nikmatnya luar biasa.

Meskipun aneka lauk khas Sunda dalam Babacakan bersama dengan ribuan orang Baduy malam itu begitu sederhana namun karena penyajiannya tidak biasa ditambah momennya langka, setahun sekali, entah kenapa rasa nikmatnya jadi berlipat-lipat.

Babacakan Jeung Urang Kanekes boleh dibilang menjadi salah satu mata acara andalan Seba Baduy yang digelar setiap tahun setelah masyarakat Baduy melaksanakan puasa 3 bulan atau Kawalu.

Daya tarik Babacakan begitu kuat, tak heran sejumlah awak media berebut mengabadikannya. Sejumlah wisatawan yang hadir pun tak mau ketinggalan turut memotret special moment tersebut dan kemudian turut makan bersama.

Lalu berapa biaya yang dikeluarkan Pemeritah Kabupaten (Pemkab) Lebak untuk menyiapkan Babacakan tersebut termasuk nasi bungkus untuk rombongan orang Baduy yang berjumlah sekitar 2.000 orang?

Berdasarkan kalkulasi Koki Rimba secara kasar, kalau saja nasi bungkus itu dihargai Rp 15.000 per bungkus, tinggal dikali 2.000 bungkus saja sudah Rp 30 juta, belum lagi air mineral serta Nasi Liwet dan aneka lauk yang ditempatkan di atas daun pisang.

Kemudian untuk sarapan esok paginya, sebelum pelepasan warga Baduy melanjutkan Seba Baduy berjalan kaki menuju Kabupaten Pandeglang. Jika ditotalkan untuk konsumsi (makan dan minum) saja, mungkin Pemkab Lebak harus mengucurkan anggaran sekitar Rp 100 juta.

Besar kecilnya dana itu tentu tak sebanding dengan jerih payah urang Kanekes yang sudah rela mengeluarkan tenaga dan waktu untuk berjalan puluhan bahkan ratusan kilometer dari kampung-kampungnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak serta memberikan hasil buminya seperti pisang tanduk, padi, gula aren, talas, dan lainnya untuk diserahkan ke Pemkab Lebak.

Hal yang sama pun mereka lakukan untuk Pemkab Pandeglang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.

Apa yang diupayakan urang Kanekes itu, tentu saja jauh lebih besar dan berat.

Lewat Seba Baduy mereka bahkan telah membuat nama Lebak, Pandeglang, dan Banten ikut terangkat ke tingkat nasional bahlan dunia karena diliput media massa yang semakin banyak jumlahnya dan juga pemuatan di media sosial (medsos).

Berdasarkan pengamatan langsung acara Babacakan Jeung Urang Kanekes dalam rangkaian Pesona Seba Baduy 2017 yang juga didukung Kemenpar, lewat Bidang Promosi Wisata Budaya, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, berjalan lancar dan berkesan.

Namun Koki Rimba menyarankan agar tahun depan saat Babacakan berlangsung sebaiknya ada perwakilan dari Baduy Dalam (Tangtu) dan Baduy Luar (Panamping) terutama para jaro, puun, dan tokoh masyarakat dari masing-masing kampungnya untuk ikut makan bersama dengan Bupati Lebak dan tamu undangan dengan Nasi Liwet dan aneka lauk khas Sunda yang ditempatkan di atas daun pisang.

Bila itu terwujud, tentu Babacakan itu akan membuahkan suasana yang lebih akrab, mengesankan, dan lebih menarik.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)