Laman

Senin, 31 Agustus 2015

Menduniakan Kuliner Tradisional Lampung Lewat Festival Krakatau 2015

Festival Krakatau ke-25 yang berlangsung 23-30 Agustus 2015 bukan hanya ingin memperkenalkan sejumah obyek wisata utama Lampung, baik itu wisata kota, pantai, pulau, dan gunung seperti Gunung Krakatau. Pun sekaligus ingin menduniakan sejumlah kuliner tradisionalnya.

Sejumlah makanan tradisional khas Lampung kali ini ditampilkan dalam gelaran Food Festival yang menjadi salah satu mata acara utama Festival Krakatau 2015. Acaranya sendiri sudah berlangsung pada tanggal 23 Agustus 2015 di Pantai Mutun dan Pulau Tangkil, Kabupaten Pesawaran, bersamaan dengan acara Pesta Pantai.

Dalam acara Food Festival tersebut para peserta berlomba membuat kreasi makanan khas Lampung antara lain gulai taboh, seruit, dan minuman khas Lampung yaitu serbat.

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung, Herlina Warganegara mengatakan masyarakat dan wisatawan yang menyaksikan Food Festival ini selain bisa lebih mengenal makanan dan minuman khas Lampung tersebut, pun bisa mencicipi kelezatannya.

“Gulai taboh itu seperti lodeh bahannya dari daun labu, jamur, labu kuning, ikan asap, dan khattak atau kacang kacangan seperti khattak gelinyor, kacang merah atau khattak ngisi, kacang panjang atau khattak kejung, khattak tuwoh, rebung, kentang, dan lainnya. Sementara bumbu gulai santan ini ada cabe, bawang merah, daun salam, serai, lengkuas, terasi, garam, dan santan kelapa, “ jelasnya di gedung Mahan Agung, Bandar Lampung, Sabtu malam (29/8).

“Kalau Seruit itu masakan ikan yang digoreng atau dibakar dicampur sambal terasi, tempoyak atau buah durian yang sudah dipermentasi, atau pun mangga. Jenis ikannya bisa  belide, baung, layis dan ikan lainnya,” ujarnya.

Seruit ini merupakan makanan wajib yang harus ada pada acara adat masyarakat Lampung. Disamping ikan, lanjut Herlina ada beberapa jenis lalapan seperti daun kemangi, terong bakar, jengkol, dan daun jambu monyet. Bahan tambahan ini kemudian dicampurkan dan diaduk menjadi satu. Setelah itu, Seruit pun siap dinikmati dengan nasi hangat.

Wisatawan yang berkunjung ke Lampung, sambung Herlina bisa menikmati  gulai taboh, seruit, dan serbat di beberapa rumah makan di Bandar Lampung dan beberapa lokasi lain.

Untuk menduniakan kuliner tersebut, lanjut Herlina, Pemrov Lampung juga mendaftarkan ketiganya ke UNESCO agar tercatat sebagai  warisan budaya tak benda. “Saat ini ketiganya tengah tahap evaluasi dan terakhir nanti baru masuk tahap presentasi,” terangnya.

Menurut Herlina kuliner tradisional khas Lampung tak kalah dengan kuliner tradisional dari provinsi lain di Indonesia. “Untuk lebih memperkenalkannya ke tingkat Nasional maupun dunia, ya di antaranya dengan menggelar acara Food Festival ini dalam Festival Krakatau dan mendaftarkannya ke Unesco agar tidak diakui oleh daerah atau bahkan negara lain,” pungkasnya.

Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Captions:
1. Seruit, makanan tradisional Lampung yang didaftarkan ke Unesco sebagai Warisan Budaya Takbenda.

2. Gulai taboh, gulai santan khas Lampung.

Kamis, 30 April 2015

Tahu Angker Bikin Suasana Bandung Jadi Horor

Kuliner berbau horor bertambah lagi. Jika sebelumnya sudah ada Rawon Setan di Surabaya, Surabi Kuntilanak di Kerawang, Es Pocong di Depok, dan Sambal Setan di Jakarta, kini hadir Tahu Angker di  Bandung.

Jika Rawon Setan dinamakan begitu karena  adanya tengah malam, Surabi Kuntilanak dan Es Pocong dijual di seberang kuburan, maka Sambal Setan dan Tahu Angker karena rasa pedasnya yang bukan kepalang.

Tahu Angker  asal Kota Kembang ini memiliki 3 level atau tingkat kepedasan. Tingkat pertama diberi label “Merinding”. Rasa pedasnya standar alias biasa saja. Ini cocok buat pecinta kuliner yang tidak berani pedas.

Tingkat kedua diberi predikat “Penampakan”. Rasa pedasnya nendang alias luar biasa. Cocok buat penyuka kuliner pedas. Sedangkan tingkat  ketiga diberi julukan “Kerasukan”. Rasa pedasnya  alamaaak ampuuuuuuun.., mulut rasanya mau terbakar. Level ini cocok buat penggila kuliner super-super pedas.

Adalah Hendra (27) pencipta camilan Tahu Angker. Pria asli Sunda ini semula berdagang panganan kecil Cireng. Namun karena semakin lama pedagang Cireng semakin banyak, dia pun banting setir, beralih menjual Tahu Angker karyanya sendiri. “Baru tiga bulan Om, saya jualan Tahu Angker. Ini hasil racikan saya sendiri. Dari dulu saya memang senang berwirausaha,  coba dagang ini itu Om,” ujarnya di Bandung baru-baru ini.

Menurut Hendra setiap hari dia mampu menjual  60 porsi Tahu Angker. Seporsinya hanya Rp 5.000.

Pria ini juga pandai mencari lokasi  berjualan sesuai pangsa pasar dagangannya, yakni anak-anak sekolah. Setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu, dia memilih berjulan di Taman Superhero, di Jalan Bengawan dan Jalan Anggrek, Kota Bandung sejak pagi sampai habis.

Taman tersebut dulunya merupakan Taman Anggrek. Kemudiand isulap menjadi Taman Super Hero yang berhasil menjadi  salah satu tempat primadona bagi anak-anak karena banyak patung replika sejumlah superhero dunia seperti Batman, Spiderman dan lainnya.
Pada hari biasa, dari Senin sampai Jumat, dia berjualan di antara dua sekolah yang letaknya berseberangan yakni SMPN 3 dan SMPN 10 di Jalan Dewi Sartika, sekitar 50 meter dari Terminal Kebon Kelapa, Bandung.

Dari dua tempat yang dipilih, jelas Hendra tahu betul sapa yang menjadi pembeli utama Tahu Angkernya. Tapi ternyata peminatnya bukan saja pelajar dari SD sampai SMA, orang dewasa dan orangtua juga banyak yang menyukainya.

Asep (38) salah satunya, pria ini menjadi langganan tetap Tahu Angkernya di Jalan Dewi Sartika. Hampir setiap hari Asep membelinya. Asep merupakan pria penyuka kuliner super pedas, buktinya saat memesan Tahu Angker ini, dia meminta dibuatkan Tahu Angker level 6, padahal tidak ada. Tapi demi memuaskan langganannya, Hendra membuatkannya dengan menambah citra pedas sesuai keinginan Asep.

Sewaktu penulis mencicipi Tahu Angker level dua atau "Penampakan", rasanya saja sudah lumayan pedas sampai penulis tak sanggup menghabiskannya karena tidak kuat. Apalagi Tahu Angker yang dipesan Asep, pastinya bikin mulut terbakar habis.

Rasa Tahu Angker Hendra selain renyah, gurih, juga kaya rempah termasuk citra daun jeruknya. Rasa pedasnya sangat pas dengan udara sejuk Bandung.

Kendati tergolong kuliner baru di Bandung, namun namanya mulai bergaung dan mulai banyak wisatwan nusantara (wisnus) yang mencarinya. Beberapa wisnus sempat penulis jumpai juga tengah membeli Tahu Angker Hendra di Jalan Dewi Sartika. Kebetulan letak jualannya,  tak jauh dari beberapa hotel melati di jalan tersebut yang kerap menjadi lokai inap wisnus maupun backpacker.

Tempat berjualan Tahu Angker yang digunakan Hendra pun terbilang praktis dan modern. Dia mengunakan sepeda motor bebek yang bagian belakangnya ditambah dengan gerobak yang dibuatnya dengan modal Rp 700.000. “Gerobak dan desainnya saya buat sendiri. Kecuali bagian ngelas  kerangka besinya, saya serangkan ke tukang las,” aku lelaki kratif dan inovatif ini.

Tahu Angker Hendra berbahan utama Tahu Lembang berwarna putih yang kemudian dipotong berbentuk dadu-dadu kecil.

Proses memasaknya ada dua tahap. Tahap pertama potongan-potongan tahu dimasukkan ke dalam  adonan tepung lalu digoreng. Proses kedua tahu yang  sudah digoreng itu lalu digoreng lagi dengan bumbu sesuai level pedasnya ditambah irisan daun bawang Bahan bumbunya  ada bawang putih, bawang merah, cabe, dan daun jeruk.

Tahu Angker memang menjadi camilan baru berbahu horor yang mulai tersohor di Bandung. Kekhasan bentuk dan rasanya,  punya kans menyaingi  ketenaran Tahu Genjrot yang sudah lebih dulu eksis dan tersebar dimana-mana.

Sebenarnya  masih ada aneka kuliner lainnya yang bertema sama di Bandung yang baru saja mendapat julukan baru sebagai Kota Solidaritas Asia Afrika ini, yakni di  Zombie Café.

Di café yang terletak di Jalan Braga No. 3, tak jauh dari Museum KAA ini  menyajikan bermacam menu Western dan Mexican bertema zombie antara lain Zombie Tiramisu Cheese Cake Death is Death, Cream Brulle Dark Halloween Horror, The Ultimate Chocolate Brownie Messiah of Evil, Zombie Supreme Pizza Dark Haloween Horror, Fresh Mango Soup Just Run to Survive, dan Mocktail Zombie in Wonderland.

Biar atmosfir horornya semakin kental, usai menyantap Tahu Angker atau mampir di Café Zombie, lanjutkan perjalanan ke sejumlah lokasi angker yang tersohor di Bandung.

Ada beberapa objek yang sudah sejak lama terkenal menyeramkan dan bikin bulu kuduk berdiri, seperti Jalan Cipaganti dekat Cihampelas, Patung Perunggu H.C. Verbraak di kawasan Taman Malaku, Tanjakan Emen di Kabupaten Bandung, Gedung SMA 5 di Jalan Belitung No 8, Ruang Bawah Tanah Museum KAA,  Gua Jepang dan Gua Belanda di Dago pakar, dan  ke Rumah Gurita di Pasteur, tepatnya di belakang hotel Grand Aquila Pasteur yang memiliki patung gurita raksasa di atapnya.

Menikmati kuliner horor seperti Tahu Angker, ditambah berkunjung ke lokasi angkernya selagi berkunjung ke Bandung, pasti bakal membuahkan pengalaman yang mendalam.

Naskah & foto: adji kembara (adji_travelplus@yahoo.com)

Captions:
1. Seporsi Tahu Angker level 2 atau Penampakan.
2. Hendra si pencipta kuliner Tahu Angker di Bandung.
3. Peminat Tahu Angker bukan cuma anak-anak tapi juga orang dewasa.
4.Sepeda motor  plus gerobak Tahu Angker yang berdesain menarik sesuai tema horor. 

Tutut Tampil Anggun di Alas Daun

Hewan bercangkang ini namanya Tutut (Bellamya spp). Keong kecil berwarna gelap kehitaman ini biasanya mudah ditemukan di sawah. Keberadaannya dulu sempat tak dianggap, kurang dilirik orang. Seiring berjalannya waktu, masyarakat terutama di pedesaan mulai memanfaatkannya menjadi camilan dan lauk. 

Hewan dalam kelompok Operculat ini biasanya dimasak dengan bumbu kunyit, kadang ditambahin santan, dan bermacam bumbu lainnya.

Dari Sawah, Tutut hijrah ke kota-kota. Awalnya dijual di pinggir jalan. Di Jakarta contohnya,  antara lain dapat ditemui di Kwitang, Jakarta Pusat dan sepanjang jalan menuju TMII, Jakarta Timur. Tutup pun mulai  jadi santapan sejumlah orang perkotaan.

Belakangan in, derajat Tutut pun naik kelas. Keong suku Viviparidae ini sudah masuk menu andalan sejumlah resto. Alas Daun merupakan satu resto yang berhasil mengangkat derajat Tutut. Resto yang berada di di Jalan Citarum No.34, Riau, Bandung, Jawa Barat ini menyajikan Tutut kuah kuning. Yang menarik Tutut disajikan dalam wadah yang cukup menarik perhatian, yakni wajan kecil. Tutut nampak terlihat lebih anggun. Harga seporsinya hanya Rp 7.000.

Sewaktu travelplusindonesia bertandang ke Bandung yang kini berjuluk Kota Solidaritas Asia Afrika, dalam peliputan side events terkait puncak peringatan KAA yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata, sempat mampir ke resto ini dan mencoba Tutut-nya. Seumur hidup baru kali ini, penulis mencicipinya.

Bentuknya yang kecil dan warnanya yang kurang menarik, membuat penulis selama ini enggan menyantap Tutut. Apalagi masih ada rasa sangsi, apakah keong yang satu ini halal atau haram disantap Muslim. Tapi ketika melihat sajiannya yang unik di wajan mini, ditambah warna kuahnya yang kuning, akhirnya tergoda juga lidah ini menyentuhnya lalu menelannya.

Semula penulis agak kesulitan bagaimana cara menyantapnya. Soalnya bentuknya kecil-kecil, beda dengan Gonggong, keong khas Batam, Bintan dan beberapa daerah lain di Kepulauan Riau yang berpenampilan lebih menarik dan nampak bersih, berukuran besar dan berwarna putih. Tapi lama-lama penulis lihai juga. Disedot lalu dicukil dagingnya dengan tusuk gigi, baru kemudian dilahap. Rasanya gurih dan kuahnya sedap.

Selain karena Tutut dan penyajiannya, tempat makan yang menyajikan aneka masakan khas Sunda ini pun menawarkan sensasi makan yang unik kepada para pengunjungnya, yakni makan dengan menggunakan alas daun pisang sesuai namanya. Jadi jangan harap pengunjungnya dapat menemukan piring di resto ini, sebagaimana resto umumnya.

Penulis jadi teringat cara makan ala pecinta alam dan beberapa komunitas pendaki gunung dengan lembaran daun pisang. Nasi dan sejumlah lauk serta sambal ditaruh di atas nasi atau di tepiannya, lalu disantap rame-rame.  Bisa jadi konsep makan ala pecinta alam ini memang ditiru oleh pengelola resto ini, kemudian dikemas lebih berkelas.

Lauk lain yang disajikan di wajan mini di resto ini ada Orak Arik Bunga Pepaya. Seporsinya Rp 12.000. Isinya tentu saja bunga pepaya, telur, kacang panjang, dan cabe rawit. Rasanya cukup pedas.dan aneka sambal seperti Sambel Goreng Kentang, Sambal Dadak, dan Sambal Halilintar.

Lalu ada Ayam Bumbu Ijo seharga Rp 16.000. Ayam goreng ini dipadukan dengan sambal hijau yang berminyak di dalam kuali mungil. Daging ayamnya empuk dan agak basah. Bumbunya meresap sampai ke dalam daging. Rasa sambalnya cukup kuat namun tidak begitu menyengat.

Ada juga Tumis Pare, Pepes Tahu, Ayam Bakar Gurih, Pete bakar, Tempe Mendoan, Tahu dan Tempe Goreng, Sate Maringgi, Bandeng Pepes atau Bandeng Gebuk, dan aneka lalapan pastinya.

Makanan pembukanya anatar lain Tahu Genjrot, Colenan, dan Otak-Otak Ikan. Sedangkan minumannya berbagai macam jus, es cincau, dan kelapa muda.

Kembali ke soal Tutut, hewan dari marga Bellamya yang hidup di sawah ini ada dua jenisnya, yakni Tutut Jawa (Bellamya javanica) dengan lokasi sebarannya di Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia (kecuali Irian Jaya), dan Filipina. Satu lagi Tutut Sumatera (Bellamya sumatrensis) yang dapat ditemui di wilyah Thailand, Kamboja, Malaysia, dan Indonesia terutama Sumatera dan Jawa.

Kendati secara fisik hewan ini kurang menarik dan imej kampungan menyertainya lantaran senang berkembangbiak di sawah. Namun siapa sangka, Tutut menyimpan kandungan gizi tinggi, baik protein, vitamin, dan zat lainnya.

Data Positive Deviance Resource Centre menyebutkan, Tutut mengandung  protein 12% , kalsium 217 mg, rendah kolesterol, 81 gram air dalam 100 gramnya, dan sisanya energi, karbohidrat, seerta phosfor.

Kandungan vitaminnya juga kaya, terutama vitamin A, E, niacin, dan folat. Sebagaimana kita ketahui, vitamin A berkhasiat untuk mata, vitamin E untuk regenerasi sel dan kecantikan kulit, niacin berperan dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi, dan folat baik untuk ibu hamil supaya bayinya tidak cacat tabung syarafnya, dan banyak lagi.

Tutut juga mengandung zat gizi makronutrien berupa protein dalam kadar yang cukup tinggi pada tubuhnya Dengan kata lain, Tutut dapat dijadikan sumber protein hewani yang bermutu dengan harga yang jauh lebih murah daripada daging sapi, kambing ataupun ayam.

Kadar kalsium Tutut pun terbilang luar biasa, kira-kira ada 217mg dalam 100gr atau hampir setara dengan segelas susu.

Yang bikin takjub lagi, Tutut juga dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit seperti diabetes, maag, liver, kolesterol, dan berbagai penyakit lainnya.

Kendati banyak khasiatnya, rupanya Tutut diam-diam berperan sebagai perantara cacing Trematoda pada manusia. Tapi tak perlu cemas, dengan perebusan yang tepat, larva cacing tersebut akan mati. Lama merebusnya minimal 20 menit jika dengan api besar, kalau dengan api kecil sekitar 1 jam. 

Naskah & foto: adji kembara (adji_travelplus@yahoo.com) 

Captions
1. Seporsi Tutut, Tumis Pare, dan nasi putih beralaskan daun di Resto Alas Daun, Bandung.
2. Suasana depan Resto Alas Daun, Bandung.
3. Seporsi Tutut, keong kecil hitam dari sawah yang diolah dan disajikan unik di Resto Alas Daun, Bandung. 



Minggu, 19 April 2015

Promosi Pariwisata Lewat Food & Hotel Indonesia 2015

Kementerian Pariwisata mendukung penyelenggaraan Food and Hotel Indonesia 2015 yang digelar tanggal 15-18 April 2015 di Lobby Pusat Niaga JIExpo Kemayoran. Even ini telah digelar sebanyak 13 kali, dan tahun ini melibatkan perwakilan berbagai negara antara lain Australia, China, Italia, Korea, Singapura, Afrika Selatan, Spanyol, Taiwan, Turkey dan Amerika Serikat  yang t menampilkan kekayaan kuliner serta kesiapan hotel di negaranya masing-masing.

Dirjen Pemasaran Pariwisata Kemenpar, Esthy Reko Astuti mengatakan promosi pariwisata dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu cara efektif yang dapat dilakukan adalah melalui musik, olahraga ataupun pertukaran pengetahuan budaya termasuk diantaranya kuliner.

Menurutnya beberapa negara dinyatakan telah sukses menyampaikan promosi negaranya melalui  kuliner. Selain itu, salah satu indikator penting kesiapan sebuah negara dalam menerima kehadiran wisatawan adalah melalui ketersediaan hotel, baik secara kuantitas maupun kualitas.

“Hotel dan kuliner menjadi kebutuhan dasar bagi para wisatawan. Dengan terpenuhinya dua kebutuhan ini, maka diharapkan angka kunjungan wisatawan pun akan meningkat. Diharapkan, ajang ini menjadi kesempatan serta stimulus untuk peningkatan dunia kuliner dan perhotelan Indonesia,” kata  saat membuka Food and Hotel Indonesia 2015  di JIExpo Kemayoran, Selasa (14/4).

Lebih lanjut, Esthy mengatakan pameran Food and Hotel Indonesia 2015 menjadi kesempatan baik bagi Indonesia untuk bisa memamerkan kekayaan kuliner serta kesiapan hotel kepada negara-negara lain yang juga bertindak sebagai peserta. Selain itu, even ini dapat menjadi ajang bagi para pekerja bidang kuliner dan perhotelan untuk bertemu sehingga bisa saling menarik pelajaran mengenai kuliner dan perhotelan di negara masing-masing.

Esthy menjelaskan pameran ini menjadi platform untuk menampilkan produk dan pelayaanan pelaku industri kuliner dan perhotelan kepada pangsa pasar Indonesia serta menjalin kerjasama yang lebih baik dengan mitra usahanya. Pemeran ini juga merupakan platform utama bagi pembelinya untuk mendapatkan akses langsung dan membuka wacana mengenai keragaman mutu produk dan servis dari peserta pameran lokal dan internasional.

Wiwiek Roberto, Senior Project Manager Food and Hotel Indonesia 2015 mengatakan selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan industri hotel, makanan, minuman dan jasa boga, penyelenggaraan ajang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan industri yang terus meningkat.

Food and Hotel Indonesia 2015 menampilkan sejumlah kegiatan yang berkaitan dan mendukung pengembangan industri kuliner dan hotel di Indonesia, antara lain Indonesia Latte Art Championship (ILAC) dan Indonesia Cup Taters Championship (ICTC) serta Salon Culinaire serta Wine Testing Classes.

Naskah & foto: puskompublik, kemenpar.

Captions:

1. Dirjen promosi pariwisata, Kemenpar  Esthy Reko Astuti  (berjilbab) meninjau acara Food & Hotel Indonesia 2015 di Kemayoran, Jakarta.
2. Dirjen Promosi Pariwisata Kemenpar Esthy Reko Astuti  memberikan penghargaan dalam acara Food & Hotel Indonesia 2015

Jumat, 17 April 2015

Ada Manuk Nom dan Sego Blawong Kesukaan Sultan Keraton Jogja di J-Path

Masakan asli Indonesia, khususnya masakan Jawa yang dikemas dan disajikan ala rumahan makin banyak penggemarnya. Melihat peluang itu, Resto Patheya yang semula menyajikan masakan Asia dan Barat akhirnya merubah nama dan konsepnya menjadi Joglo Patheya atau disingkat J-Path. Resto ini  menawarkan bermacam masakan Jawa yang sejak dulu disukai para Raja Keraton Jawa ala kuliner keraton yang bercitra rasa tinggi.
Rahayu Ningsih Hoed, pemilik resto ini menjelaskan J-Path didirikan sebagai bentuk kontribusi dalam upaya melestarikan warisan kuliner Indonesia, dengan konsep Legendary Javanese Cuisines. 
Dia berharap orang-orang yang datang ke resto yang berada di Jalan Kemang Utara Raya No. 22, Jakarta Selatan ini merasa homey. Bukan hanya dari segi desain atau suasana, tapi juga makanannya.
Masakan di J-Path dikemas seperti aslinya serta disajikan dengan selera daerah asal. Untuk hidangan utamanya ada aneka nasi atau sego seperti Sego Blawong, Sego Golong, dan Sego Jamblang.
Sego Blawong merupakan nasi yang berwarna meran namun bulan lantaran berasal dari beras merah melainkan rempah yang digunakan saat menanaknya.  Nasi rempah ini disajikan dengan ayam bacem, telur pindang, dan daging lombok kethok yakni daging sapi yang dipotong-potong seukuran dadu dan dibumbui kecap.
Nasi yang dipatok dengan harga Rp 42.500 per porsi ini merupakan makanan kegemaran Sultan Hamengku Buwono VIII. Nasi Blawong juga  menjadi makanan andalan Keraton Yogyakarta untuk menjamu tamu istimewa.
Disebut Sego  Blawong karena nasi ini dihidangkan di atas piring berwarna biru yang dalam Bahasa Belanda disebut blauw. Sesuia lidah orang jawa, kata blauw berubah menjadi blawong.
Sego Golong adalah  nasi gulung dengan dagung semur dan urap dan sup bening oyong. Harganya Rp 51.500 per porsinya. Pada masa KGPAA Mangkunegoro I atau Pangeran Sabernyawa dari Pura Mangkunegaran, nasi ini menjadi favorit beliau.
Sego Jamblang merupakan makanan khas Cirebon. Nasi ini dibungkus dengan gaun jati yang lebih tahan lama. Lauknya empal daging/ampela, sate tempe, dan sate telur puyuh. Harganya Rp 45.000 per porsi.
Selain itu juga ada Sego Gromyang  Rp 55.000, Sego Goreng Semarangan Rp 41.500, Sego Goreng Telo Rp 45.500, Sego Goreng Jawa Rp 36.500, dan Mie Joglo Patheya baik kuah maupun goreng Rp 55.000 per porsinya.
Aneka lauknya antara lain Bistik Jawa, Bistik Edan, Lombok Kethok, Garang Asem, dan Mangut Ikan.
Bistik Jawa merupakan sajian  stik daging sapi dengan bumbu khas Jawa dan sayuran. Harganya Rp 65.500 per porsinya.
Bistik Edan merupakan salah satu makanan favorit Sultan Hamengku Buwono VIII. Disebut edan, karena saat Sultan menyantapnya, rasa pedasnya luar biasa sampai sultan berkata “edan pedasnya”. Sejak itu masakan itu disebut Bistik Edan. Sedangkan Mangut Ikan atau ikan mayung merupakan ikan asap khas Semarangan yang dihargai Rp 26.500 per porsinya.
Untuk menu pembukanya antara lain ada Rawon seharga Rp 26.500 dan Karedok Rp 26. 500 per porsinya.
Kudapan penutupnya antara lain Manuk Nom yakni puding tapai ketan dengan emping di atasnya. Kudapan ini favorit Sultan Hamengku Buwono VII dan VIII. Harganya Rp 34. 500 per porsinya.
Selain itu ada Rondho Royal atau Manyos dan Perawan Kenes . Kudapan Perawan Kenes menjadi salah satu kudapan kegemaran Sri Sultan HB IX.  Makanan ini terbuat dari pisang yang dibakar lalu dibesut dengan santan dan ditaburi keju.
Untuk minumannya, Anda bisa memilih Bir Jawa, Wedang Secang, dan Wedang Ronde.
Bir Jawa  dari bahan racikan jahe, kapulaga,bunga cengkeh, serai, daun pandan, jeruk nipis,serutan kayu secang, dan gula pasir atau gula batu yang disajikan dingin ini dihargai Rp 36.500.  Minuman ini merupakan warisan kuliner khas Yogyakarta yang dikreasikan oleh Sri Sultan HB VIII. Kendati namanya bir, minuman ini tidak memabukkan karena tidak mengandung alkohol.
Wedang Secang merupakan ramuan minuman tradisional dari jahe, kayu manis  serutan kayu secang dan gula batu yang disajikan panas. Harganya Rp 37.500 per gelasnya. Minuman ini menjadi salah satu minuman favorit Sultan HB IX.  Sedangkan Wedang Ronde Rp 30.000.
Minuman lainnya ada Lemon Grass Honey Ginger yang dihargai Rp 25.000 per gelasnya. Minuman ini racikan dari sereh dengan madu dan jahe yang disajikan dingin. Satu lagi Teh Rerempahan seharga Rp 22.500 per gelasnya.
Manager J-Path, Ary Laksono menjelaskan sesuai namanya, J-Phat difasilitasi  sebuah joglo yang melambangkan kemegahan adat rumah jawa. Pengunjung yang makan disini, diiringi Gending Jawa secara live.
Fasilitas lainnya, ada kolam renang, ruang karoke, ruang seminar, ruang meeting dengan berbagai ukuran, bahkan kamar pengantin serta ruang perpustakaan.
Melihat kelengkapan fasilitasnya, tak heran kalau J-Path ini cocok untuk acara makan bersama keluarga, rapat maupun acara pesta baik pesta perkawinan, ulang tahun, barbeque party, dan private party lainnya. 

Naskah & foto: adji kembara (adji_travelplus@yahoo.com)
Captions:
1.     Sego Golong kegemaran Pangeran Sabernyawa, kemasan J-Path. 
2.     Rahayu, pemilik J-Path tengah memasak buat tamunya. 
3.     Manuk Nom kudapan yang digemari Sultan HB VII dan VIII. 
4.     Minuman Wedang Ronde khas J-Path. 

Rabu, 21 Januari 2015

Angkat Derajat Jepa, “Pizza”-nya Orang Mandar

Orang Italia dan Amerika punya Pizza, orang Mandar juga, namanya Jepa atau Teles. Maskot makanan khas Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar) ini bentuknya menyerupai Pizza, berupa lingkaran dalam lembaran tipis. Warnanya putih kecokelatan dengan aroma singkong bakar dan bertekstur seperti roti.

Jepa, dulu  pernah menjadi  makanan pokok orang Mandar, pengganti nasi. Jepa terbuat dari singkong atau ubi kayu atau cassava (Inggris) atau Manihot esculenta  (latin) alias lame ayu (Mandar) yang memiliki sumber karbohidrat tinggi. 

Nelayan mandar yang berlayar mencari ikan, juga lebih memilih membawa Jepa sebagai pengganti nasi karena lebih mudah disajikan dan tidak mudah basi karena tidak memiliki kadar air (kering).

Cara membuat Jepa boleh dibilang gampang-gampang susah. Setelah singkong dikupas kulitnya lalu dihaluskan dengan cara  diparut. Parutannya itu lalu diperas.

Zaman dulu, proses pemerasan  tradisional ini membutuhkan serat pelepah kelapa yang lebar, namanya endeng-endeng atau a'diq-a'diq. Endeng-endeng diambil dari bagian pohon kelapa yang menyerupai selimut berpori yang membungkus kelopak-kelopak dahan kelapa. Ini berfungsi sebagai pembungkus sekaligus penyaring sehingga ketika ubi dalam proses pemerasan yang lolos hanya cairan perasan dan menyisakan ubi yang nyaris tak lagi memiliki kandungan air. 

Kini proses pemerasan ampas singkong menggunakan bungkusan karung, lalu diperas agar sari singkong keluar. Ampas parutan singkong itulah yang digunakan. Sementara air perasaannya dibuang. Hasil ayakannya kemudian dibuat menjadi adonan yang dicampur dengan parutan kelapa agar burih. Campuran kedua itulah yang menjadi bahan pembuat Jepa.

Adonan tersebut kemudian dituangkan ke dalam piring bulat yang terbuat dari tanah liat, masyarakat Mandar menyebutnya "panjepangang". 

Butuh dua panjepangang sebagai wadah dan satunya lagi sebagai penutup Jepa. Kedua piring itu diletakkan di atas tungku tanah liat untuk proses pemanggangan. 

Proses pemanggangannya sama seperti memanggang Kerak Telor di Jakarta dan Surabi di Jawa Barat.

Adonan singkong tersebut seperti dijepit agar matang bagian atas dan bawahnya.  Tak sampai 3 menit, seluruh sisi singkong terpanggang dengan sempurna. Jepa pun jadi, aroma seperti singkong dibakar pun tercium. Begitu menggoda untuk disantap.

Paling enak menyantap Jepa memang selagi masih hangat. Teman bersantapnya tumis sayur ataupun "Tui-Tuing Tapa" atau ikan terbang yang diasapi, yang juga menjadi ikon kuliner Mandar lainnya.

Selain seperti Pizza, Jepa juga mirip dengan Kerak Telor khas Betawi, Jakarta. Cara memasaknya pun nyaris serupa. Cuma bahan bakunya yang beda. Kerak Telor menggunakan beras, telor bebek atau ayam, dan bumbu serundeng.

Nasib Jepa dan Kerak Telor pun sama, yakni sama-sama tenar di kandangnya sendiri dan sama-sama kalah tenar dibanding Pizza-nya Italia dan Amerika.

Jepa yang pada awalnya merupakan makanan pokok masyarakat Mandar, belakangan citranya kian memudar, menjadi makanan kedua di daerah asalnya sendiri. 

Keberadaanya kian tergerus dengan kemunculan makanan lain yang tampil menawan dan praktis seperti Pizza Italia dan makanan fast food lainnya. Diperparah dengan budaya anak sekarang yang lebih membangga-banggakan kuliner asing ketimbang kuliner tradisional warisan leluhurnya sendiri.

Di daerah kelahirannya, Jepa memang masih ada kendati dari segi jumlah pembuatnya kalah dengan pembuat Kerak Telor Betawi. 

Beberapa orang menuturkan, Jepa muncul pada masa-masa daerah tersebut mengalami kekeringan hingga gagal panen atau paceklik

Sejumlah orang ketika itu dikabarkan kelaparan. Dari situlah ada ide membuat bahan makan pokok diluar nasi yakni Jepa.

Berdasarkan bahannya, Jepa terdiri dari beberapa jenis. Ada Jepa Katong yang terbuat dari katong atau sagu, Jepa Golla Mamea yang dicampur dengan gula merah atau gula aren, dan Jepa-Jepa yang memiliki ukuran lebih kecil.

Jepa-Jepa menjadi bahan logistik utama nelayan Mandar saat melaut. Teman bersantapnya gula aren atau dengan potongan daging kelapa muda serta ikan hasil tangkapan.

Bersamaan lahirnya Provinsi Sulbar, 2004 silam, derajat Jepa kembali terangkat.  Apalagi ketika jalan poros Makassar (Ibukota Sulsel) – Mamuju (Ibukota Sulbar) berubah menjadi jalur alternatif trans-Sulawesi. Jepa pun perlahan  tampil dengan citra baru, bukan lagi sebagai makanan utama, melainkan sebagai komoditas penting wisata kuliner Sulbar. 

Untuk mengangkat derajat Jepa, perlu ada kreativitas, terutama dalam kemasan dan lauknya yang lebih variatif serta kekinian. Tak ada salahnya ada variasi Jepa dengan lauk ayam ataupun daging sapi cincang dan lainnya yang tentunya halal. 

Kalau Anda ke Sulbar, salah satu pembuat Jepa yang bisa Anda dapati di Kabupaten Majene, tepatnya di Desa Bonde, Kecamatan Pamboang. 

Di desa tersebut, Anda bisa melihat langsung proses pembuatan Jepa bahkan ikut membuat Jepa dengan seizin pembuatnya. Kita juga bisa membeli Jepa dengan harga Rp 2000 per lembar.

Selain di Desa Bonde, Anda bisa membeli Jepa di pasar tradisional yang berada di belakang Tempat Pelelangan Ikan Majene. Lokasi lainnya di pinggiran jalan poros, di Labuang, Somba, sekira 30 Km dari ibu kota kabupaten Majene. 

Jepa di tempat ini disajikan hangat-hangat, bersanding dengan ikan terbang panggang atau Banggulung Tapa, dalam Bahasa Mandar yang asapnya masih mengepul. Menggoda selera. Anda ingin mencicipinya? Berkunjunglah ke Sulbar.

Naskah & foto: adji kembara (kokirimba@yahoo.com)

Captions:
1.  Jepa komplit dengan aneka lauk. 
2.   Salah seorang pembuat Jepa di Desa  Bonde, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulbar. 
3.     Jepa-Jepa atau jenis Jepa ukuran kecil yang dikukus. 
4.     Jepa polos, tanpa lauk.