Laman

Kamis, 30 April 2015

Tutut Tampil Anggun di Alas Daun

Hewan bercangkang ini namanya Tutut (Bellamya spp). Keong kecil berwarna gelap kehitaman ini biasanya mudah ditemukan di sawah. Keberadaannya dulu sempat tak dianggap, kurang dilirik orang. Seiring berjalannya waktu, masyarakat terutama di pedesaan mulai memanfaatkannya menjadi camilan dan lauk. 

Hewan dalam kelompok Operculat ini biasanya dimasak dengan bumbu kunyit, kadang ditambahin santan, dan bermacam bumbu lainnya.

Dari Sawah, Tutut hijrah ke kota-kota. Awalnya dijual di pinggir jalan. Di Jakarta contohnya,  antara lain dapat ditemui di Kwitang, Jakarta Pusat dan sepanjang jalan menuju TMII, Jakarta Timur. Tutup pun mulai  jadi santapan sejumlah orang perkotaan.

Belakangan in, derajat Tutut pun naik kelas. Keong suku Viviparidae ini sudah masuk menu andalan sejumlah resto. Alas Daun merupakan satu resto yang berhasil mengangkat derajat Tutut. Resto yang berada di di Jalan Citarum No.34, Riau, Bandung, Jawa Barat ini menyajikan Tutut kuah kuning. Yang menarik Tutut disajikan dalam wadah yang cukup menarik perhatian, yakni wajan kecil. Tutut nampak terlihat lebih anggun. Harga seporsinya hanya Rp 7.000.

Sewaktu travelplusindonesia bertandang ke Bandung yang kini berjuluk Kota Solidaritas Asia Afrika, dalam peliputan side events terkait puncak peringatan KAA yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata, sempat mampir ke resto ini dan mencoba Tutut-nya. Seumur hidup baru kali ini, penulis mencicipinya.

Bentuknya yang kecil dan warnanya yang kurang menarik, membuat penulis selama ini enggan menyantap Tutut. Apalagi masih ada rasa sangsi, apakah keong yang satu ini halal atau haram disantap Muslim. Tapi ketika melihat sajiannya yang unik di wajan mini, ditambah warna kuahnya yang kuning, akhirnya tergoda juga lidah ini menyentuhnya lalu menelannya.

Semula penulis agak kesulitan bagaimana cara menyantapnya. Soalnya bentuknya kecil-kecil, beda dengan Gonggong, keong khas Batam, Bintan dan beberapa daerah lain di Kepulauan Riau yang berpenampilan lebih menarik dan nampak bersih, berukuran besar dan berwarna putih. Tapi lama-lama penulis lihai juga. Disedot lalu dicukil dagingnya dengan tusuk gigi, baru kemudian dilahap. Rasanya gurih dan kuahnya sedap.

Selain karena Tutut dan penyajiannya, tempat makan yang menyajikan aneka masakan khas Sunda ini pun menawarkan sensasi makan yang unik kepada para pengunjungnya, yakni makan dengan menggunakan alas daun pisang sesuai namanya. Jadi jangan harap pengunjungnya dapat menemukan piring di resto ini, sebagaimana resto umumnya.

Penulis jadi teringat cara makan ala pecinta alam dan beberapa komunitas pendaki gunung dengan lembaran daun pisang. Nasi dan sejumlah lauk serta sambal ditaruh di atas nasi atau di tepiannya, lalu disantap rame-rame.  Bisa jadi konsep makan ala pecinta alam ini memang ditiru oleh pengelola resto ini, kemudian dikemas lebih berkelas.

Lauk lain yang disajikan di wajan mini di resto ini ada Orak Arik Bunga Pepaya. Seporsinya Rp 12.000. Isinya tentu saja bunga pepaya, telur, kacang panjang, dan cabe rawit. Rasanya cukup pedas.dan aneka sambal seperti Sambel Goreng Kentang, Sambal Dadak, dan Sambal Halilintar.

Lalu ada Ayam Bumbu Ijo seharga Rp 16.000. Ayam goreng ini dipadukan dengan sambal hijau yang berminyak di dalam kuali mungil. Daging ayamnya empuk dan agak basah. Bumbunya meresap sampai ke dalam daging. Rasa sambalnya cukup kuat namun tidak begitu menyengat.

Ada juga Tumis Pare, Pepes Tahu, Ayam Bakar Gurih, Pete bakar, Tempe Mendoan, Tahu dan Tempe Goreng, Sate Maringgi, Bandeng Pepes atau Bandeng Gebuk, dan aneka lalapan pastinya.

Makanan pembukanya anatar lain Tahu Genjrot, Colenan, dan Otak-Otak Ikan. Sedangkan minumannya berbagai macam jus, es cincau, dan kelapa muda.

Kembali ke soal Tutut, hewan dari marga Bellamya yang hidup di sawah ini ada dua jenisnya, yakni Tutut Jawa (Bellamya javanica) dengan lokasi sebarannya di Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia (kecuali Irian Jaya), dan Filipina. Satu lagi Tutut Sumatera (Bellamya sumatrensis) yang dapat ditemui di wilyah Thailand, Kamboja, Malaysia, dan Indonesia terutama Sumatera dan Jawa.

Kendati secara fisik hewan ini kurang menarik dan imej kampungan menyertainya lantaran senang berkembangbiak di sawah. Namun siapa sangka, Tutut menyimpan kandungan gizi tinggi, baik protein, vitamin, dan zat lainnya.

Data Positive Deviance Resource Centre menyebutkan, Tutut mengandung  protein 12% , kalsium 217 mg, rendah kolesterol, 81 gram air dalam 100 gramnya, dan sisanya energi, karbohidrat, seerta phosfor.

Kandungan vitaminnya juga kaya, terutama vitamin A, E, niacin, dan folat. Sebagaimana kita ketahui, vitamin A berkhasiat untuk mata, vitamin E untuk regenerasi sel dan kecantikan kulit, niacin berperan dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi, dan folat baik untuk ibu hamil supaya bayinya tidak cacat tabung syarafnya, dan banyak lagi.

Tutut juga mengandung zat gizi makronutrien berupa protein dalam kadar yang cukup tinggi pada tubuhnya Dengan kata lain, Tutut dapat dijadikan sumber protein hewani yang bermutu dengan harga yang jauh lebih murah daripada daging sapi, kambing ataupun ayam.

Kadar kalsium Tutut pun terbilang luar biasa, kira-kira ada 217mg dalam 100gr atau hampir setara dengan segelas susu.

Yang bikin takjub lagi, Tutut juga dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit seperti diabetes, maag, liver, kolesterol, dan berbagai penyakit lainnya.

Kendati banyak khasiatnya, rupanya Tutut diam-diam berperan sebagai perantara cacing Trematoda pada manusia. Tapi tak perlu cemas, dengan perebusan yang tepat, larva cacing tersebut akan mati. Lama merebusnya minimal 20 menit jika dengan api besar, kalau dengan api kecil sekitar 1 jam. 

Naskah & foto: adji kembara (adji_travelplus@yahoo.com) 

Captions
1. Seporsi Tutut, Tumis Pare, dan nasi putih beralaskan daun di Resto Alas Daun, Bandung.
2. Suasana depan Resto Alas Daun, Bandung.
3. Seporsi Tutut, keong kecil hitam dari sawah yang diolah dan disajikan unik di Resto Alas Daun, Bandung. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar