Laman

Sabtu, 13 Mei 2017

Sepiring Pindang Kepala Gabus Bi’ Cik, Bikin Pingin Balik Lagi ke Kota Jambi


Kalau Anda ke Kota Jambi, lalu menyantap sepiring Pindang Kepala Gabus di Warung Pindang Bi’ Cik. Dijamin bakal ketagihan dan ingin balik lagi. Nggak percaya? Coba aja.

Ketagihan Pindang Gabus racikan Bi’ Cik yang bernama asli Yeti itu pun dialami H. Ekhsan, wisatawan asal Bekasi yang kebetulan lagi bertugas memantau pelaksanaan Festival Candi Muaro Jambi 2017 yang diselenggarakan Pemkab Muaro Jambi berkerjasama dengan Pemprov Jambi dan didukung instansi Kementerian Pariwisata (Kemenpar), tempatnya bekerja.

Sewaktu datang untuk santap siang di warung yang terletak di Jalan Slamet Riyadi, wilayah Broni, Kota Jambi, Eksan langsung memesan Pindang Gabus.

Rupanya pria berperawan gemuk ini penyuka olahan ikan gabus.  Menurutnya di Bekasi, tenpatnya tinggal ada penjual menu Gabus Pucung yang sudah lama menjadi langgananya dan terkenal luar biasa enak. “Nah, sekarang saya mau cobain Ikan Gabus yang dipindang, mumpung lagi di Kota Jambi,” ujarnya kepada Koki Rimba, Rabu (10/5) siang.

Jika Ekhsan memilih Pindang Gabus karena menyukai Ikan Gabus, lain halnya Koki Rimba justru memilih menu tersebut lantaran menilainya paling unik atau tidak biasa dibanding Pindang Ikan Patin ataupun Pindang Iga Sapi.


Setelah Ekhsan memesan Pindang Gabus bagian badan dan Koki Rimba memesan Pindang Kepala Gabus, Bi’ Cik kemudian meraciknya di dapur mini yang juga merangkap tempat menyajikan aneka menu lainnya yang terletak di bagian depan sisi kiri warungnya.

Rupanya potongan Ikan Gabus yang menjadi bahan utama Pindang Gabus sudah dipotong-potong terlebih dahulu menjadi tiga bagian yakni kepala, badan, dan buntut, dan juga sudah direbus. Begitupun dengan Ikan Patin.

Sementara kuah pindangnya ditempatkan di dalam panci di atas kompos gas dengan api kecil.

Warna kuah pindangnya kuning keemasan, sangat menggoda selera. “Bumbu kuah pindangnya antara lain dari kunyit, cabe merah, bawah merah, cabe rawit, dan lainnya,” ujar Bi' Cik sambil memasukan potongan Ikan Gabus ke dalam panci berkuah pindang.

Tak perlu menunggu lama karena ikan tersebut sudah direbus terlebih dulu, Bi' Cik kemudian mengangkat kepala dan badan Ikan Gabus ke dalam piring dan mangkuk.

Kepala Ikan Gabus pesanan Koki Rimba diletakkan ke dalam piring karena ukurannya cukup besar, sedangkan pesanan Ekhsan, Badan Gabus diletakkan ke dalam mangkuk.

Setelah itu Bi’ Cik memasukkan irisan tomat merah dan daun kemangi. Hemmm.., secara tampilan seperting Patin Kepala Gabus Warung Pindang Bi’ Cik benar-benar menggugah selera.

Mungkin karena sudah lapar, ditambah bertemu dengan menu kesukaannya, Ekhsan nampak begitu lahap menyantap Pindang Gabus-nya.

Tak sampai 5 menit, menu kesukaannya itu sudah ludes. Dia pun tak berkomentar apa-apa, tidak bilang pedas ataupun asam.

Sementara Koki Rimba, waktu pertama kali mencicpi kuah Pindang Kepala Gabus, yang terlontar pertama kali adalah citra pedas dan asam-nya cukup terasa. Maklum Koki Rimba tidak terlalu suka pedas.

Padahal menurut beberapa pengunjung lain terutama perempuan yang suka pedas, kuah pindang buatan Bi’ Cik itu tidak sama sekali pedas.

Karena lidah Koki Rimba merasa kuah pindang itu pedas, akhirnya sama sekali tidak dicampur Sambal Nanas, teman pindang tersebut.

Koki Rimba pun hanya menyantap kepalanya saja dengan sedikit kuah, sehingga sisa kuahnya yang yang tak termakan cukup banyak.

Pindang Kepala Gabus Bi’ Cik dibanderol Rp 40 ribu. Kalau badannya Rp 35 dan buntutnya Rp 30 ribu per porsi. Sementara Pindang Kepala Patin Rp 35 ribu, sedangkan badan dan buntutnya masing-masing Rp 30 ribu per porsi.

Meskipun menu utamanya aneka Pindang Patin, Gabus, dan Pindang Iga Sapi, namun Warung Pindang Bi' Cik yang sudah beroperasi sejak 6 tahun lalu ini pun menyajikan aneka menu lainnya seperti Ayam Kampung Goreng, Sayur Daun Singkong, Tumis Buncis, Tumis Tempe, Patin Balado, Terong Balado, Pepes Tempoyak, Sate Ikan, Ikan Kerutup, Ikan Seluang Goreng, Tumis Kerang dan Pete, Udang Goreng, Perkedel Jagung, Sambal Macang, dan lainnya serta aneka minuman jus.

Bukti kalau warung pindang Bi’ Cik ini menjadi salah satu objek wisata kuliner andalan Kota Jambi, terlihat dari beberapa bingkai foto yang pajang di dinding warung ini.

Di sana terpajang foto Gubernur Jambi Zumi Zola beserta Bi’ Cik dan sejumlah menteri antara lain Mensos Khofifah Indar Parawansa yang sudah mampir dan makan di warung ini.

Warung Pindang Bi’ Cik merupakan segelintir dari warung, rumah makan atau restoran yang menyajikan menu tradisional khas Jambi selain Dolen yang berlokasi di Talang Banjar Aneka Rasa di Kebun Jeruk.

Namun sebenarnya Warung Pindang Bi’ Cik tidak menyebut warung makan khas Jambi melainkan Palembang sebagaimana tertera di backdrop yang dipasang di depan warungnya, karena menu andalannya yakni aneka Pindang Gabus, Patin, dan Iga Sapi itu sebenarnya racikan khas Palembang bukan Jambi.

Kalau di lihat dari sisi lokasi dan kondisinya, Warung Pindang Bi’ Cik boleh dibilang strategis dan cukup luas, ditambah lahan parkir yang cukup memadai di bagian depan dan sisi kiri warungnya.

Bangunan warung yang dilengkapi mushola dan toilet ini pun menegaskan ketradisionalannya. Atapnya diberi ijuk dan dindingnya berbilik bambu dengan ventilasi cukup luas.

Warung yang berada di depan jalan raya, tepatnya di seberang Hotel Ratu, dan di samping kanan jalan dan mini market, serta di samping kirinya ada gedung salah satu parpol baru ini, mampu menampung sekitar 200 orang di bagian depan dan samping.
Cuma dari segi pelayanan, boleh dibilang cukup lama lantaran warung ini cuma memperkerjakan dua pelayan, laki dan perempuan. Sedangkan Bu’ Cik sendiri yang bertugas menyajian menu pesanan.

Satu lagi, warungnya tidak memiliki ruang ber-AC, semuanya non-AC namun jumlah kipas anginnya pun terbatas terutama di ruang makan di bagian samping.

Sudah semestinya pelayanan dan fasilitas pendukung warung yang sudah direkomendasikan sejumlah pihak sebagai salah satu objek wisata kuliner di Kota Jambi ini semakin baik lagi ke depan.

Nah, bukti lain kalau Ekhsan benar-benar ketagihan Pindang Gabus Bi' Cik, sebelum kembali ke Bekasi, Jum'at (12/5),  dia meminta santap siangnya ba'da Jum'atan di Masjid Agung Al-Falah atau Masjid Seribu Tiang, di Warung Pindang Bi’ Cik lagi.  Dan lagi-lagi menu yang dipesannya adalah Pindang Gabus ditambah Patin, kemudian kembali disantapnya dengan lahap dan cepat.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Senin, 01 Mei 2017

Menjelajahi Ragam Cita Rasa Tak Terhitung di Rangkasbitung


Wisata kuliner boleh dibilang nggak ada matinya. Digabung dengan jenis wisata apapun, tetap nyambung. Kuliner seakan ditakdirkan menjadi salah satu pemikat utama sebuah destinasi.

Itulah sebabnya setiap meliput beragam jenis wisata, selalu ada waktu untuk berwisata kuliner. Contohnya baru-baru ini, disela-sela mengikuti culture event Seba Baduy 2017, Koki Rimba menyempatkan diri menjelajahi beragam citra rasa tak terhitung di Kota Rangkasbitung.

Selepas mengikuti prosesi inti Seba Baduy di Pendopo Bupati Lebak di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, Lebak, Banten, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Esthy Reko Astuti  ingin minum yang dingin-dingin.

Bisa jadi dia masih kehausan karena sebelumnya mengikut Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) bersama Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya di halaman Pendopo dengan menu Nasi Liwet dan beragam lauk khas Sunda seperti ikan asin, ayam kampung goreng, cah kangkung dan beragam lalapan seperti ketimun, kacang panjang, daun salada, dan pete serta sambal tomat goreng yang semuanya ditaruh di atas deretan daun pisang hingga menggoda selera.

Gayung bersambut, salah seorang panitia Seba Baduy 2017 dari Pemkab Lebak memberi rekomendasi resto untuk mewujudkan keinginan Esthy.

Didampingi Kepala Bidang Promosi Wisata Budaya Kemenpar Wawan Gunawan, berangkatlah kami ke resto sesuai petunjuk panitia tersebut.

Namanya Kemuning Resto, sesuai dengan tulisan yang terpampang di tembok depan resto tersebut, yang berada di Jalan Sunan Bonang No.10, sekitar 1 Km dari Alun-Alun Rangkasbitung.

Di halaman depannya diteduhi Pohon Mangga yang daunnya cukup rindang dan sedang berbuah.

Melihat bangunan restonya seperti rumah bekas orang Belanda jadoel atau jaman doeloe.

Itu bisa jadi, karena sejarah Rangkasbitung tak lepas dari sejarah perjuangan Multatuli alias “Eduard Douwes Dekker”, yaitu tokoh Belanda yang kabarnya pernah berjuang memerdekakan masyarakat Kabupaten Lebak dari kesengsaraan akibat dijajah.

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang artinya “banyak yang sudah aku derita” yang terkenal dengan karangan bukunya yang berjudul Max Havelar.

Dari situlah nama Multatuli kemudian menjadi ikon Kota Rangkasbitung dan diabadikan untuk nama alun-alun dan jalan utama, bahkan untuk nama museum yang baru diresmikan tahun lalu.

Meski tak luas, resto yang berada di tepi jalan raya ini punya halaman parkir yang mungkin cuma mampu menampung 5 mobil di bagian samping kiri. Sedangkan bagian samping kanannya terdapat payung-payung tenda lengkap dengan meja dan kursi.

Di serambi depan ada dua meja dan beberapa kursi. Begitupun di bagian tengah yang merangkap dapur terbuka di belakangnya, dan ruangan sisi kiri yang juga merangkap kasir.

Lantaran haus dan ingin minum yang dingin-dingin, Esthy memesan Es Kemuning, semacam es campur yang berisi aneka buah seperti alpukat, kelapa, dan lainnya.

Lain lagi dengan Wawan. Lantaran tidak sempat ikut Babacakan (makan malam bersama dengan orang Baduy) karena mobilnya sempat mengalami kendala usai mengikut acara di Pandeglang, dia memesan menu makan malam Nasi Goreng dan Cumi Kuah Asam Manis.


Selain Es Kemuning yang menjadi salah satu menu andalan resto ini, masih ada beberapa jenis minuman lainnya.

Koki Rimba sendiri memesan Hot Nescafe dan Jus Alpukat serta Pisang bakar.

Sementara Sony, Even Organizer (EO) yang mengurus dukungan Kemenpar dalam Seba Baduy 2017 ini, memilih Es Kemuning dan Pisang Goreng.

Hadi, asisten Wawan memesan Hot Nescafe serta Bakwan Udang. Sedangkan Rijal, Stafnya Wawan memilih Lemon Squash dan Pempek, sementara Robi stafnya Sony memesan Roti Bakar dan Hot Black Kupu-Kupu yang juga menjadi salah satu minuman andalan resto ini.

Setelah Koki Rimba cicipi semua jenis minuman dan makanan itu, boleh dibilang serba enak dan pantas untuk direkomendasikan ke publik.

Harganya pun masuk akal alias terjangkau. Segelas Es Kemuning misalnya cuma Rp 14 ribu, Hot Nescafe Rp 8 ribu, Lemon Squash Rp 10 ribu, Hot Black Kupu-Kupu Rp 5 ribu.
Begitu pun aneka camilannya, Pempek Rp 15 ribu, Bakwan Udang seporsi isi 3 potong Rp 10 ribu, Roti Bakar Rp 10 ribu, dan Pisang Bakar/Goreng masing-masing Rp 12 ribu.

Tak sulit menjangkau resto ini. Pengunjung yang datang dari Jakarta bisa naik kereta api commuter line dari Stasiun Tanah Abang, Palmerah, ataupun Stasiun Kebayoran Lama ke Stasiun Rangkasbitung selama sekitar 2,5 jam. Kemudian tinggal naik becak dari depan stasiun.

Saking asyiknya nyantai, ngobrol, ngudut, dan ngemil di Kemuning Resto, tak terasa sudah hampir jam 12 malam.
Padahal resto milik Isty Desrina ini tutup pukul 10 malam, sedangkan bukanya pukul 10 pagi setiap hari.

Kami pun kembali ke Hotel Bumi Katineung di Jalan Multatuli, tempat kami menginap yang jaraknya sekitar 300 meter dari resto tersebut.

Esok paginya selepas Nyabu jo alias Nyarapan Bubur Kacang Ijo di hotel yang kabarnya terbaik di Rangkasbitung itu, Koki Rimba melanjutkan jelajah kuliner di seputaran Kota Rangkasbitung sebelum bertolak ke Pandeglang dan Kota Serang mengikuti rangkaian Seba Baduy 2017 berikutnya.

Ada beberapa tempat kuliner Kota Rangkasbitung yang Koki Rimba sambangi dengan becak, namun tidak semua dicicipi makanannya.

Di antaranya Mie Sadis Pedas di Jalan R.A Kartini No.12, Nasi Uduk Bolo2 Mamah Anna di Kampung Leuwiranji Jalan Sunan Kalijaga, Martabak Malabar di Jalan Stasiun (Jalan Sunan Kalijaga), Warung Nasi Ka Oyo juga di Jalan Sunan Kalijaga,  Mie Ayam Kangkung Keriting Awi di Jalan Multatuli No 45, dan Rumah Makan Ramayana juga di Jalan Multatuli.

Lanjut ke Warung Sate Ojolali I (Maman) di Jalan Empang (Jalan RT. Hardiwinangun), Juice Alun-Alun Rangkasbitung, dan Soto Tangkar juga di Alun-Alun Rangkasbitung, serta Gado-Gado Sunan Bonang Jalan Sunan Bonang.

Selain di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, sentra kuliner Kota Rangkasbitung juga ada di Balong Ranca Lentah atau Situ Balong (empang/kolam), tak jauh dari Alun-Alun, tepatnya di Jalan RT Hardiwanungun.

Sayangnya saat menjelajahi tempat-tempat bersantap itu, Koki Rimba tak menemukan Kue Jojorong, kue khas Rangkasbitung yang terbuat dari tepung sanji, tepung beras, dan gula merah yang di bungkus daun pisang.

Mungkin harus balik ke Rangkasbitung lagi alias bersambung. Dan sepertinya memang harus, karena wisata kuliner itu Ibukota Kabupaten Lebak ini pun never ending.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Minggu, 30 April 2017

Aneka Lauk Babacakan Khas Seba Baduy 2017, Sungguh Menggugah Selera


“Mas Adji ayo Babacakan di sini bareng-bareng,” begitu ajak Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya bersama suami tercinta di sebelah kanannya. “Ayo mas Adji disini aja, saya juga kebanyakan nih,” ajak Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwiata Nusantara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Esthy Reko Astuti yang duduk di sebelah kiri Bupati Lebak.

Terus terang sebenarnya saya sudah kepingin sekali Babacakan (makan bersama) dengan mereka, apalagi di momen spesial dalam rangkaian Pesona Seba Baduy 2017, ditambah dengan aneka lauknya yang menggugah selera.

Ada ikan asin, tempe dan tahu goreng, ayam goreng, mie goreng, cah kangkung, kerupuk, dan aneka lalapan seperti daun salada, kacang panjang, mentimun, dan pete serta sambal. “Ayam gorengnya ayam kampung lho mas Adji,” ucap Iti.

Namun dari semua lauk itu, entah kenapa matanya saya justru terus melirik pete dan ikan asin. “Pete khas Lebak ini rada manis Mas Adji, cobain aja,” ujar Iti lagi.

Mendengar penjelasan Iti, terus terang selera makan saya semakin bergejolak. Jujur saja, sejak dulu pete memang menjadi salah satu dewa penyelamat selera makan saya selain ikan asin dan jengkol.

Ajakan Iti dan Esthy ditambah aneka menu Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) yang berjumlah sekitar 2.000 orang di halaman depan Pendopo Bupati Lebak, Kota Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat (28/4) malam, membuat saya galau.

Di satu benar-benar ingin langsung makan bersama orang nomor satu di Lebak itu ditambah dengan Deputi Esthy. Tapi di sisi lain, peristiwa orang-orang penting itu ikut Babacakan merupakan momen spesial yang sayang kalau tidak diabadikan.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengabadikan mereka terlebih dulu dan juga ribuan urang Kanekes yang duduk rapih beralas terpal biru sambil menyantap Nasi Bungkus berisi nasi, ayam goreng, dan aneka lauk lainnya.

Selepas tuntas mengabadikan semuanya, saya pun memilih tempat untuk bersantap Babacakan itu.

Nasi dan semua lauknya ditaruh di atas jajaran daun pisang yang terlebih dulu sudah dibersihkan.

Lauk yang pertama yang saya sikat justru pete-nya, sampai Sony, Event Organizer (EO) heran. “Wah Mas Adji pete-nya dulu yang dimakan, bukan nasinya haha,” ujar Sony sambil tertawa.

Itu sengaja saya lakukan karena penasaran ingin membuktikan perkataan Iti. Ternyata benar pete-nya walau sudah tua tapi tetap berasa agak manis dan segar, sepertinya baru dipetik dari pohonnya.

Soalnya kalau saya makan nasi dan lauk lainnya baru kemudian pete-nya, takut rasa khas pete-nya tercampur.

Apalagi saat saya santap nasinya, ternyata bukan nasi putih biasa melainkan Nasi Liwet sejenis Nasi Uduk khas Betawi kalau di Jakarta. Heemmm.., nikmatnya luar biasa.

Meskipun aneka lauk khas Sunda dalam Babacakan bersama dengan ribuan orang Baduy malam itu begitu sederhana namun karena penyajiannya tidak biasa ditambah momennya langka, setahun sekali, entah kenapa rasa nikmatnya jadi berlipat-lipat.

Babacakan Jeung Urang Kanekes boleh dibilang menjadi salah satu mata acara andalan Seba Baduy yang digelar setiap tahun setelah masyarakat Baduy melaksanakan puasa 3 bulan atau Kawalu.

Daya tarik Babacakan begitu kuat, tak heran sejumlah awak media berebut mengabadikannya. Sejumlah wisatawan yang hadir pun tak mau ketinggalan turut memotret special moment tersebut dan kemudian turut makan bersama.

Lalu berapa biaya yang dikeluarkan Pemeritah Kabupaten (Pemkab) Lebak untuk menyiapkan Babacakan tersebut termasuk nasi bungkus untuk rombongan orang Baduy yang berjumlah sekitar 2.000 orang?

Berdasarkan kalkulasi Koki Rimba secara kasar, kalau saja nasi bungkus itu dihargai Rp 15.000 per bungkus, tinggal dikali 2.000 bungkus saja sudah Rp 30 juta, belum lagi air mineral serta Nasi Liwet dan aneka lauk yang ditempatkan di atas daun pisang.

Kemudian untuk sarapan esok paginya, sebelum pelepasan warga Baduy melanjutkan Seba Baduy berjalan kaki menuju Kabupaten Pandeglang. Jika ditotalkan untuk konsumsi (makan dan minum) saja, mungkin Pemkab Lebak harus mengucurkan anggaran sekitar Rp 100 juta.

Besar kecilnya dana itu tentu tak sebanding dengan jerih payah urang Kanekes yang sudah rela mengeluarkan tenaga dan waktu untuk berjalan puluhan bahkan ratusan kilometer dari kampung-kampungnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak serta memberikan hasil buminya seperti pisang tanduk, padi, gula aren, talas, dan lainnya untuk diserahkan ke Pemkab Lebak.

Hal yang sama pun mereka lakukan untuk Pemkab Pandeglang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.

Apa yang diupayakan urang Kanekes itu, tentu saja jauh lebih besar dan berat.

Lewat Seba Baduy mereka bahkan telah membuat nama Lebak, Pandeglang, dan Banten ikut terangkat ke tingkat nasional bahlan dunia karena diliput media massa yang semakin banyak jumlahnya dan juga pemuatan di media sosial (medsos).

Berdasarkan pengamatan langsung acara Babacakan Jeung Urang Kanekes dalam rangkaian Pesona Seba Baduy 2017 yang juga didukung Kemenpar, lewat Bidang Promosi Wisata Budaya, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, berjalan lancar dan berkesan.

Namun Koki Rimba menyarankan agar tahun depan saat Babacakan berlangsung sebaiknya ada perwakilan dari Baduy Dalam (Tangtu) dan Baduy Luar (Panamping) terutama para jaro, puun, dan tokoh masyarakat dari masing-masing kampungnya untuk ikut makan bersama dengan Bupati Lebak dan tamu undangan dengan Nasi Liwet dan aneka lauk khas Sunda yang ditempatkan di atas daun pisang.

Bila itu terwujud, tentu Babacakan itu akan membuahkan suasana yang lebih akrab, mengesankan, dan lebih menarik.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Buah Naga Ditangan Melanny Jadi Buah Tangan Cake Khas Batam yang Diminati Wisatawan


Melihat di tempat tinggalnya di Barelang (Batam-Rempang-Galang) banyak perkebunan Buah Naga, Melanny yang berdarah Minang mencoba membuat cake buah naga tahun 2011. Tak disangka kuenya itu disukai teman, tetangga dan kerabatnya. Dan kini Cake Buah Naga Melanny menjelma menjadi oleh-oleh asli Batam yang diminati wisnus dan wisman asal Singpura dan Malaysia saat mereka berwisat di Batam.

Cake Buah Naga Aroma memang berlabel oleh-oleh asli Batam, lantaran bahan baku utamanya yaitu Buah Naga dipasok dari Barelang, Batam, Provinsi Kepualau Riau (Kepri).

Masyarakat di Barelang, sudah lama membudidayakan Buah Naga. Kurang ebih ada sekitar 300 hektar perkebunan buah naga di sana yang menghasilkan berton-ton buah naga setiap panen.

Pengolahan dan proses pembuatan Cake Buah Naga-nya pun di Batam. Pembuatnya adalah sepasang suami istri (pasutri) Benny Saputra dan Melanny yang sama-sama berdarah Minang, Sumatera Barat.

Melanny yang hobi membuat kue ini semula mengerjakan sendiri pesanan hingga mencapai 20 loyang per hari.

Tak berapa lama, pesanan semakin bertambah, Melanny pun memperkerjakan sejumah karyawan untuk membantunya.

Melihat prospek kue tersebut semakin cerah, Melanny dan Benny memutuskan membentuk CV dengan merek dagang Aroma.

Melanny pun nekat resign dari  pekerjaannya untuk total mengembangkan mengembahkan usaha Cake Buah Naga-nya.

Cuma butuh 2 tahun buat Melanny untuk memperkenalkan cake unik buatannya hinga nge-hits seperti sekarang ini.

Dia melakukan berbagai promosi lewat radio, billboard, dan iklan bus berjalan. Dia pun merintis berbagai kerja sama dengan pemerintah lokal, hotel, dan beberapa tour and travel.

Alhasil kini Melanny sudah memiliki belasan cabang penjualan di Batam, antara lain di pelabuhan internasional Harbour Bay dan di Bandara Hang Nadim.

Cake-nya pun kini diminati masyarakat Singapura dan Malaysia.

Rasanya Cake Buah Naga ini menawarkan rasa yang segar karena banyak mengandung air dan serat buah naga.

Ada beberapa rasa dan topping cake buah naga buatan Melanny, antara lain cake buah naga almond, Victoria (perpaduan cake buah naga dengan topping cokelat, stroberi, dan karamel), juga Exotic (cake dengan topping aneka rasa buah dan karamel).

Harganya per box-nya mulai dari 45 ribu yang original dan 50 ribu yang memakai topping.

Koki Rimba meluangkan waktu mengunjungi salah satu cabang Cake Buah Naga Aroma buatan Melanny di Komplek Wijaya Kusuma, Jalan Imam Bonjol Blok I No.5, Nagoya, Batam.

Tujuan utamanya tentu bukan sekadar beli, pun meliputnya agar oleh-oleh asli Batam yang sedang ng-hits ini semakin terekpsoe luas.

Di toko itu selain Cake Buah Naga ada beberapa oleh-oleh asli Batam lainnya seperti keripik buah nangka, stik brokoli, dan lainnya. Namun yang menjadi promadona adalah Cake Buah Naga dalam kemasan koatk kardus berwarna merah bergambar Melanny dan seorang putri buah hatinya.

“Kami buka dari jam 9 pagi dan tutup jam 10 malam setiap hari. Pembeliny bukan cuma wisatawan Indonesia, tapi juga dari Singapura dan Malaysia,” ujar pelayan toko tersebut.

Usai mengulik informasi sedikit tentang kesuksesan Cake Buah Naga Aroma buatan Melanny, Koki Rimba pun membeli 2 kotak cake unik tersebut.

Menurut pelayannya, paling favorit Cake Buah Naga topping kacang almond harganya Rp 55ribu per kotak, satu lagi yang original harganya Rp 45 ribu. Rasa buah naganya terasa sekali.
"Kalau disimpan dalam kulkas, Cake Buah Naga ini bisa bertahan sampai 5 hari” ujar pelayan perempuan muda berhijab itu.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)