Laman

Sabtu, 13 Mei 2017

Sepiring Pindang Kepala Gabus Bi’ Cik, Bikin Pingin Balik Lagi ke Kota Jambi


Kalau Anda ke Kota Jambi, lalu menyantap sepiring Pindang Kepala Gabus di Warung Pindang Bi’ Cik. Dijamin bakal ketagihan dan ingin balik lagi. Nggak percaya? Coba aja.

Ketagihan Pindang Gabus racikan Bi’ Cik yang bernama asli Yeti itu pun dialami H. Ekhsan, wisatawan asal Bekasi yang kebetulan lagi bertugas memantau pelaksanaan Festival Candi Muaro Jambi 2017 yang diselenggarakan Pemkab Muaro Jambi berkerjasama dengan Pemprov Jambi dan didukung instansi Kementerian Pariwisata (Kemenpar), tempatnya bekerja.

Sewaktu datang untuk santap siang di warung yang terletak di Jalan Slamet Riyadi, wilayah Broni, Kota Jambi, Eksan langsung memesan Pindang Gabus.

Rupanya pria berperawan gemuk ini penyuka olahan ikan gabus.  Menurutnya di Bekasi, tenpatnya tinggal ada penjual menu Gabus Pucung yang sudah lama menjadi langgananya dan terkenal luar biasa enak. “Nah, sekarang saya mau cobain Ikan Gabus yang dipindang, mumpung lagi di Kota Jambi,” ujarnya kepada Koki Rimba, Rabu (10/5) siang.

Jika Ekhsan memilih Pindang Gabus karena menyukai Ikan Gabus, lain halnya Koki Rimba justru memilih menu tersebut lantaran menilainya paling unik atau tidak biasa dibanding Pindang Ikan Patin ataupun Pindang Iga Sapi.


Setelah Ekhsan memesan Pindang Gabus bagian badan dan Koki Rimba memesan Pindang Kepala Gabus, Bi’ Cik kemudian meraciknya di dapur mini yang juga merangkap tempat menyajikan aneka menu lainnya yang terletak di bagian depan sisi kiri warungnya.

Rupanya potongan Ikan Gabus yang menjadi bahan utama Pindang Gabus sudah dipotong-potong terlebih dahulu menjadi tiga bagian yakni kepala, badan, dan buntut, dan juga sudah direbus. Begitupun dengan Ikan Patin.

Sementara kuah pindangnya ditempatkan di dalam panci di atas kompos gas dengan api kecil.

Warna kuah pindangnya kuning keemasan, sangat menggoda selera. “Bumbu kuah pindangnya antara lain dari kunyit, cabe merah, bawah merah, cabe rawit, dan lainnya,” ujar Bi' Cik sambil memasukan potongan Ikan Gabus ke dalam panci berkuah pindang.

Tak perlu menunggu lama karena ikan tersebut sudah direbus terlebih dulu, Bi' Cik kemudian mengangkat kepala dan badan Ikan Gabus ke dalam piring dan mangkuk.

Kepala Ikan Gabus pesanan Koki Rimba diletakkan ke dalam piring karena ukurannya cukup besar, sedangkan pesanan Ekhsan, Badan Gabus diletakkan ke dalam mangkuk.

Setelah itu Bi’ Cik memasukkan irisan tomat merah dan daun kemangi. Hemmm.., secara tampilan seperting Patin Kepala Gabus Warung Pindang Bi’ Cik benar-benar menggugah selera.

Mungkin karena sudah lapar, ditambah bertemu dengan menu kesukaannya, Ekhsan nampak begitu lahap menyantap Pindang Gabus-nya.

Tak sampai 5 menit, menu kesukaannya itu sudah ludes. Dia pun tak berkomentar apa-apa, tidak bilang pedas ataupun asam.

Sementara Koki Rimba, waktu pertama kali mencicpi kuah Pindang Kepala Gabus, yang terlontar pertama kali adalah citra pedas dan asam-nya cukup terasa. Maklum Koki Rimba tidak terlalu suka pedas.

Padahal menurut beberapa pengunjung lain terutama perempuan yang suka pedas, kuah pindang buatan Bi’ Cik itu tidak sama sekali pedas.

Karena lidah Koki Rimba merasa kuah pindang itu pedas, akhirnya sama sekali tidak dicampur Sambal Nanas, teman pindang tersebut.

Koki Rimba pun hanya menyantap kepalanya saja dengan sedikit kuah, sehingga sisa kuahnya yang yang tak termakan cukup banyak.

Pindang Kepala Gabus Bi’ Cik dibanderol Rp 40 ribu. Kalau badannya Rp 35 dan buntutnya Rp 30 ribu per porsi. Sementara Pindang Kepala Patin Rp 35 ribu, sedangkan badan dan buntutnya masing-masing Rp 30 ribu per porsi.

Meskipun menu utamanya aneka Pindang Patin, Gabus, dan Pindang Iga Sapi, namun Warung Pindang Bi' Cik yang sudah beroperasi sejak 6 tahun lalu ini pun menyajikan aneka menu lainnya seperti Ayam Kampung Goreng, Sayur Daun Singkong, Tumis Buncis, Tumis Tempe, Patin Balado, Terong Balado, Pepes Tempoyak, Sate Ikan, Ikan Kerutup, Ikan Seluang Goreng, Tumis Kerang dan Pete, Udang Goreng, Perkedel Jagung, Sambal Macang, dan lainnya serta aneka minuman jus.

Bukti kalau warung pindang Bi’ Cik ini menjadi salah satu objek wisata kuliner andalan Kota Jambi, terlihat dari beberapa bingkai foto yang pajang di dinding warung ini.

Di sana terpajang foto Gubernur Jambi Zumi Zola beserta Bi’ Cik dan sejumlah menteri antara lain Mensos Khofifah Indar Parawansa yang sudah mampir dan makan di warung ini.

Warung Pindang Bi’ Cik merupakan segelintir dari warung, rumah makan atau restoran yang menyajikan menu tradisional khas Jambi selain Dolen yang berlokasi di Talang Banjar Aneka Rasa di Kebun Jeruk.

Namun sebenarnya Warung Pindang Bi’ Cik tidak menyebut warung makan khas Jambi melainkan Palembang sebagaimana tertera di backdrop yang dipasang di depan warungnya, karena menu andalannya yakni aneka Pindang Gabus, Patin, dan Iga Sapi itu sebenarnya racikan khas Palembang bukan Jambi.

Kalau di lihat dari sisi lokasi dan kondisinya, Warung Pindang Bi’ Cik boleh dibilang strategis dan cukup luas, ditambah lahan parkir yang cukup memadai di bagian depan dan sisi kiri warungnya.

Bangunan warung yang dilengkapi mushola dan toilet ini pun menegaskan ketradisionalannya. Atapnya diberi ijuk dan dindingnya berbilik bambu dengan ventilasi cukup luas.

Warung yang berada di depan jalan raya, tepatnya di seberang Hotel Ratu, dan di samping kanan jalan dan mini market, serta di samping kirinya ada gedung salah satu parpol baru ini, mampu menampung sekitar 200 orang di bagian depan dan samping.
Cuma dari segi pelayanan, boleh dibilang cukup lama lantaran warung ini cuma memperkerjakan dua pelayan, laki dan perempuan. Sedangkan Bu’ Cik sendiri yang bertugas menyajian menu pesanan.

Satu lagi, warungnya tidak memiliki ruang ber-AC, semuanya non-AC namun jumlah kipas anginnya pun terbatas terutama di ruang makan di bagian samping.

Sudah semestinya pelayanan dan fasilitas pendukung warung yang sudah direkomendasikan sejumlah pihak sebagai salah satu objek wisata kuliner di Kota Jambi ini semakin baik lagi ke depan.

Nah, bukti lain kalau Ekhsan benar-benar ketagihan Pindang Gabus Bi' Cik, sebelum kembali ke Bekasi, Jum'at (12/5),  dia meminta santap siangnya ba'da Jum'atan di Masjid Agung Al-Falah atau Masjid Seribu Tiang, di Warung Pindang Bi’ Cik lagi.  Dan lagi-lagi menu yang dipesannya adalah Pindang Gabus ditambah Patin, kemudian kembali disantapnya dengan lahap dan cepat.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Senin, 01 Mei 2017

Menjelajahi Ragam Cita Rasa Tak Terhitung di Rangkasbitung


Wisata kuliner boleh dibilang nggak ada matinya. Digabung dengan jenis wisata apapun, tetap nyambung. Kuliner seakan ditakdirkan menjadi salah satu pemikat utama sebuah destinasi.

Itulah sebabnya setiap meliput beragam jenis wisata, selalu ada waktu untuk berwisata kuliner. Contohnya baru-baru ini, disela-sela mengikuti culture event Seba Baduy 2017, Koki Rimba menyempatkan diri menjelajahi beragam citra rasa tak terhitung di Kota Rangkasbitung.

Selepas mengikuti prosesi inti Seba Baduy di Pendopo Bupati Lebak di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, Lebak, Banten, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Esthy Reko Astuti  ingin minum yang dingin-dingin.

Bisa jadi dia masih kehausan karena sebelumnya mengikut Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) bersama Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya di halaman Pendopo dengan menu Nasi Liwet dan beragam lauk khas Sunda seperti ikan asin, ayam kampung goreng, cah kangkung dan beragam lalapan seperti ketimun, kacang panjang, daun salada, dan pete serta sambal tomat goreng yang semuanya ditaruh di atas deretan daun pisang hingga menggoda selera.

Gayung bersambut, salah seorang panitia Seba Baduy 2017 dari Pemkab Lebak memberi rekomendasi resto untuk mewujudkan keinginan Esthy.

Didampingi Kepala Bidang Promosi Wisata Budaya Kemenpar Wawan Gunawan, berangkatlah kami ke resto sesuai petunjuk panitia tersebut.

Namanya Kemuning Resto, sesuai dengan tulisan yang terpampang di tembok depan resto tersebut, yang berada di Jalan Sunan Bonang No.10, sekitar 1 Km dari Alun-Alun Rangkasbitung.

Di halaman depannya diteduhi Pohon Mangga yang daunnya cukup rindang dan sedang berbuah.

Melihat bangunan restonya seperti rumah bekas orang Belanda jadoel atau jaman doeloe.

Itu bisa jadi, karena sejarah Rangkasbitung tak lepas dari sejarah perjuangan Multatuli alias “Eduard Douwes Dekker”, yaitu tokoh Belanda yang kabarnya pernah berjuang memerdekakan masyarakat Kabupaten Lebak dari kesengsaraan akibat dijajah.

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang artinya “banyak yang sudah aku derita” yang terkenal dengan karangan bukunya yang berjudul Max Havelar.

Dari situlah nama Multatuli kemudian menjadi ikon Kota Rangkasbitung dan diabadikan untuk nama alun-alun dan jalan utama, bahkan untuk nama museum yang baru diresmikan tahun lalu.

Meski tak luas, resto yang berada di tepi jalan raya ini punya halaman parkir yang mungkin cuma mampu menampung 5 mobil di bagian samping kiri. Sedangkan bagian samping kanannya terdapat payung-payung tenda lengkap dengan meja dan kursi.

Di serambi depan ada dua meja dan beberapa kursi. Begitupun di bagian tengah yang merangkap dapur terbuka di belakangnya, dan ruangan sisi kiri yang juga merangkap kasir.

Lantaran haus dan ingin minum yang dingin-dingin, Esthy memesan Es Kemuning, semacam es campur yang berisi aneka buah seperti alpukat, kelapa, dan lainnya.

Lain lagi dengan Wawan. Lantaran tidak sempat ikut Babacakan (makan malam bersama dengan orang Baduy) karena mobilnya sempat mengalami kendala usai mengikut acara di Pandeglang, dia memesan menu makan malam Nasi Goreng dan Cumi Kuah Asam Manis.


Selain Es Kemuning yang menjadi salah satu menu andalan resto ini, masih ada beberapa jenis minuman lainnya.

Koki Rimba sendiri memesan Hot Nescafe dan Jus Alpukat serta Pisang bakar.

Sementara Sony, Even Organizer (EO) yang mengurus dukungan Kemenpar dalam Seba Baduy 2017 ini, memilih Es Kemuning dan Pisang Goreng.

Hadi, asisten Wawan memesan Hot Nescafe serta Bakwan Udang. Sedangkan Rijal, Stafnya Wawan memilih Lemon Squash dan Pempek, sementara Robi stafnya Sony memesan Roti Bakar dan Hot Black Kupu-Kupu yang juga menjadi salah satu minuman andalan resto ini.

Setelah Koki Rimba cicipi semua jenis minuman dan makanan itu, boleh dibilang serba enak dan pantas untuk direkomendasikan ke publik.

Harganya pun masuk akal alias terjangkau. Segelas Es Kemuning misalnya cuma Rp 14 ribu, Hot Nescafe Rp 8 ribu, Lemon Squash Rp 10 ribu, Hot Black Kupu-Kupu Rp 5 ribu.
Begitu pun aneka camilannya, Pempek Rp 15 ribu, Bakwan Udang seporsi isi 3 potong Rp 10 ribu, Roti Bakar Rp 10 ribu, dan Pisang Bakar/Goreng masing-masing Rp 12 ribu.

Tak sulit menjangkau resto ini. Pengunjung yang datang dari Jakarta bisa naik kereta api commuter line dari Stasiun Tanah Abang, Palmerah, ataupun Stasiun Kebayoran Lama ke Stasiun Rangkasbitung selama sekitar 2,5 jam. Kemudian tinggal naik becak dari depan stasiun.

Saking asyiknya nyantai, ngobrol, ngudut, dan ngemil di Kemuning Resto, tak terasa sudah hampir jam 12 malam.
Padahal resto milik Isty Desrina ini tutup pukul 10 malam, sedangkan bukanya pukul 10 pagi setiap hari.

Kami pun kembali ke Hotel Bumi Katineung di Jalan Multatuli, tempat kami menginap yang jaraknya sekitar 300 meter dari resto tersebut.

Esok paginya selepas Nyabu jo alias Nyarapan Bubur Kacang Ijo di hotel yang kabarnya terbaik di Rangkasbitung itu, Koki Rimba melanjutkan jelajah kuliner di seputaran Kota Rangkasbitung sebelum bertolak ke Pandeglang dan Kota Serang mengikuti rangkaian Seba Baduy 2017 berikutnya.

Ada beberapa tempat kuliner Kota Rangkasbitung yang Koki Rimba sambangi dengan becak, namun tidak semua dicicipi makanannya.

Di antaranya Mie Sadis Pedas di Jalan R.A Kartini No.12, Nasi Uduk Bolo2 Mamah Anna di Kampung Leuwiranji Jalan Sunan Kalijaga, Martabak Malabar di Jalan Stasiun (Jalan Sunan Kalijaga), Warung Nasi Ka Oyo juga di Jalan Sunan Kalijaga,  Mie Ayam Kangkung Keriting Awi di Jalan Multatuli No 45, dan Rumah Makan Ramayana juga di Jalan Multatuli.

Lanjut ke Warung Sate Ojolali I (Maman) di Jalan Empang (Jalan RT. Hardiwinangun), Juice Alun-Alun Rangkasbitung, dan Soto Tangkar juga di Alun-Alun Rangkasbitung, serta Gado-Gado Sunan Bonang Jalan Sunan Bonang.

Selain di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, sentra kuliner Kota Rangkasbitung juga ada di Balong Ranca Lentah atau Situ Balong (empang/kolam), tak jauh dari Alun-Alun, tepatnya di Jalan RT Hardiwanungun.

Sayangnya saat menjelajahi tempat-tempat bersantap itu, Koki Rimba tak menemukan Kue Jojorong, kue khas Rangkasbitung yang terbuat dari tepung sanji, tepung beras, dan gula merah yang di bungkus daun pisang.

Mungkin harus balik ke Rangkasbitung lagi alias bersambung. Dan sepertinya memang harus, karena wisata kuliner itu Ibukota Kabupaten Lebak ini pun never ending.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)